China Bangun Bendungan Raksasa di Tibet, India dan Bangladesh Khawatir

2 hours ago 4

Jakarta, CNN Indonesia --

Pembangunan bendungan raksasa Yarlung Tsangpo oleh China pada Juli 2025 disebut tak hanya menandai pergeseran pengembangan energi air, tapi juga kontrol strategis atas aliran sungai lintas negara.

Proyek tersebut secara simbolis diluncurkan oleh Perdana Menteri Li Qiang di Nyingchi, Tibet.

Proyek ini mencakup lima pembangkit listrik tenaga air berjenjang dengan kapasitas total 60 gigawatt dan nilai investasi sekitar USD167 miliar. Media pemerintah China menyebutnya sebagai keajaiban "rekayasa hijau," namun negara-negara di hilir memandang proyek ini sebagai perwujudan nyata hegemoni air Beijing yang berpotensi mengancam keamanan air Asia.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

China memiliki kendali atas Dataran Tinggi Tibet, sumber dari 10 sungai besar Asia, yang memberinya keunggulan strategis dalam pengelolaan sumber daya air. Bendungan Yarlung Tsangpo menjadi bagian utama kebijakan pemindahan listrik dari wilayah barat ke timur China, sekaligus memperkuat kontrol atas sungai lintas batas.

Proyek ini dipimpin oleh perusahaan milik negara Power Construction Corporation of China. Meski otoritas China mengklaim proyek tersebut tidak akan merugikan negara-negara hilir, hingga kini tidak ada laporan studi kelayakan maupun analisis dampak lingkungan yang dipublikasikan.

Pemerintah Tibet dalam pengasingan mengecam proyek ini sebagai bentuk perusakan ekologis yang mengancam jutaan orang. Kantor mereka di Jenewa memperingatkan UN Human Rights Council bahwa bendungan tersebut dapat merusak ekosistem rapuh Tibet dan membahayakan keamanan air kawasan Asia Selatan.

Para aktivis Tibet mencatat bahwa sejak 2000, lebih dari 121.000 orang telah mengungsi akibat pembangunan bendungan di dataran tinggi, dengan potensi 1,2 juta orang lainnya terdampak jika seluruh proyek hidroelektrik yang direncanakan direalisasikan.

Bagi India dan Bangladesh, proyek ini dinilai sebagai ancaman langsung. Sungai Yarlung Tsangpo-dikenal sebagai Siang di Arunachal Pradesh dan Brahmaputra di Assam-menopang sekitar 130 juta penduduk India sebelum mengalir ke Bangladesh sebagai Sungai Jamuna, yang menopang sekitar 160 juta jiwa.

Kekhawatiran India dan Bangladesh

Pemerintah India menyatakan terus memantau perkembangan proyek tersebut dan meminta China memastikan kepentingan negara hilir tidak dirugikan. Isu ini juga disampaikan langsung oleh Menteri Luar Negeri India S. Jaishankar kepada pihak China dalam pertemuan Shanghai Cooperation Organization pada Juli lalu.

Kekhawatiran India diperkuat oleh pengalaman di Sungai Mekong, di mana 12 bendungan berjenjang China terbukti mengurangi aliran air hingga 70 persen pada periode kritis. Para analis India khawatir skenario serupa dapat menjadikan Brahmaputra sebagai "bom air." dengan pelepasan air mendadak yang berisiko memicu banjir besar di Assam dan Arunachal Pradesh.

Kepala Menteri Arunachal Pradesh, Pema Khandu, menyebut bendungan tersebut sebagai ancaman serius bagi mata pencaharian masyarakat adat.

Bangladesh menghadapi risiko yang lebih kompleks karena hanya tujuh persen wilayah DAS Brahmaputra-Meghna-Gangga berada di dalam wilayahnya. Pemerintah Bangladesh telah meminta rincian teknis dan kajian lingkungan kepada Beijing, namun hanya menerima pernyataan umum tentang perhatian terhadap pelestarian ekologi.

Gangguan aliran sedimen juga menjadi kekhawatiran utama. Brahmaputra membawa sekitar 401 juta ton lumpur per tahun yang menyuburkan delta Bangladesh dan menopang produksi padi. Bendungan China berpotensi menahan sedimen tersebut, mengancam ketahanan pangan dan mempercepat penurunan permukaan delta, sebagaimana terjadi di Delta Mekong Vietnam.

Alat tekanan geopolitik

Pola pembangunan bendungan China di Brahmaputra dinilai mencerminkan pendekatan yang sama seperti di Mekong, Irrawaddy, dan Salween. Penolakan Beijing untuk bergabung dengan Konvensi PBB tentang Aliran Air Internasional 1997 atau menandatangani perjanjian pembagian air yang mengikat menciptakan kekosongan hukum.

Mekanisme tingkat ahli yang dibentuk bersama India sejak 2006 pun terbatas pada pertukaran data hidrologi musiman tanpa pengawasan operasional bendungan.

Para analis memperingatkan bahwa jika langkah China di Brahmaputra tidak ditantang, hal ini dapat melegitimasi penggunaan kontrol air sebagai instrumen geopolitik di Asia.

Negara-negara hilir berpotensi merespons dengan membangun bendungan tandingan, yang justru memperparah fragmentasi ekosistem sungai.

Tanpa keterlibatan multilateral berbasis hukum air internasional, sungai-sungai Asia dikhawatirkan berubah dari sumber kehidupan menjadi alat tekanan geopolitik.

(dna)

Read Entire Article
| | | |