Jakarta, CNN Indonesia --
Bioenergi kian dipandang sebagai salah satu kunci transisi energi nasional. Pemerintah pun menargetkan pemanfaatan 9 juta ton biomassa pada 2030 untuk mendukung enhanced Nationally Determined Contribution (eNDC) dan mencapai target net zero emission (NZE).
Program cofiring biomassa di PLTU pun menjadi salah satu strategi utama pengurangan emisi Gas Rumah Kaca (GRK).
Direktur Biomassa PLN Energi Primer Indonesia (EPI), Hokkop Situngkir menegaskan, biomassa bukan sekadar bahan bakar alternatif, tetapi juga ekosistem ekonomi kerakyatan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Hal ini disampaikan Hokkop saat menjadi Pembicara dalam Workshop bertajuk "Optimalisasi Peluang Usaha Bagi Pengusaha Muda" yang diselenggarakan oleh Asosiasi Pemasok Energi, Mineral, dan Batubara (ASPEBINDO) bekerja sama dengan HIPMI di Ambhara Hotel, Jakarta.
"Bioenergi itu tidak hanya bicara material yang dibakar, tetapi seluruh jejak karbon dari sumber bahan baku hingga pembakaran. Kami memastikan setiap tahun ada peningkatan signifikan pemanfaatan biomassa sesuai peta jalan nasional dalam Permen ESDM 12/2023 dan RUPTL 2025-2034," ujar Hokkop
PLN EPI mencatat realisasi pasokan biomassa untuk cofiring PLTU mencapai 1,6 juta ton pada 2024. Hokkop menyebut peluang usaha biomassa terbuka luas karena melibatkan UMKM, kelompok tani, dan mitra lokal.
"Yang dulunya limbah seperti serbuk gergaji, atau sekam hanya dibakar, sekarang bisa bernilai ekonomi. Ini bukan hanya energi bersih, tapi juga pemberdayaan masyarakat," katanya.
Namun, ia mengakui tantangan utama masih ada pada kestabilan pasokan, kesenjangan kapasitas pengolahan, hingga harmonisasi kebijakan.
"Industri bioenergi kita belum sepenuhnya terbentuk. Padahal banyak limbah industri yang belum dimanfaatkan. Ke depan, konsep sub-hub, hub, dan main hub bisa menjamin kualitas sekaligus memfasilitasi produksi biomassa secara berkelanjutan," tutur Hokkop.
Kementerian ESDM mencatat, Sejalan dengan arah kebijakan nasional, pengembangan biomassa menjadi salah satu program prioritas menuju swasembada energi. Berbeda dengan energi terbarukan lain, bioenergi membutuhkan usaha berkelanjutan karena berbasis lahan dan sumber daya hayati.
Biomassa dapat dimanfaatkan untuk cofiring di pembangkit, pemakaian langsung, hingga bahan baku Sustainable Aviation Fuel (SAF) sebagaimana praktik di sejumlah negara lain.
Potensi biomassa di Indonesia masih sangat besar, baik melalui jaringan PLN (on-grid) maupun untuk kebutuhan sendiri (off-grid/captive power) yang kontribusinya saat ini justru lebih dominan.
Tantangan utamanya ada pada skala keekonomian, biaya logistik pengumpulan dan distribusi, serta keberlanjutan pasokan. Pemanfaatan teknologi seperti AI dan IoT dinilai penting untuk melacak rantai pasok biomassa dari hulu ke hilir agar akuntabel dan traceable.
Selain itu, dinamika harga biomassa sangat dipengaruhi oleh harga batu bara yang bersifat substitusi. Saat harga batu bara naik, biomassa lebih kompetitif, sebaliknya bila harga batu bara turun, biomassa sulit bersaing.
Karena itu, ke depan diperlukan mekanisme indeksasi harga biomassa agar lebih ekonomis, terukur, dan bisa menjadi acuan pasar.
Pengembangan bioenergi tidak bisa dilakukan satu pihak saja. Diperlukan kolaborasi antara PLN, pelaku usaha, dan pemerintah untuk menjaga rantai pasok. Apalagi Indonesia menghadapi persaingan ekspor biomassa, misalnya cangkang sawit yang banyak diminati pasar luar negeri meski dikenakan tarif ekspor.
"Peluang pasar biomassa, baik domestik maupun internasional, terbuka sangat besar. Kuncinya adalah menjaga kesinambungan pasokan dan memastikan standar teknis seperti SNI terpenuhi," ujar Hokkop.
Dengan prospek tersebut, bioenergi dipandang tidak hanya menopang pencapaian target mitigasi perubahan iklim Indonesia, tetapi juga membuka peluang usaha baru berbasis ekonomi kerakyatan.
(inh)