Jakarta, CNN Indonesia --
Perang sipil di Sudan telah menjadi genosida terparah setelah konflik di Jalur Gaza, Palestina.
Kelompok-kelompok dan aktivis kemanusiaan mengatakan tanda-tanda pembersihan etnis serta bencana kemanusiaan sudah semakin terlihat dalam beberapa waktu belakangan.
Pada 26 Oktober lalu, kelompok paramiliter Rapid Support Forces (RSF) mengambil kendali atas Kota El Fasher, ibu kota wilayah Darfur Utara, setelah mengepung kawasan tersebut selama sekitar 18 bulan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
El Fasher merupakan rumah bagi sekitar 900.000 warga Sudan. Mayoritas masyarakat kini telah mengungsi imbas serbuan RSF.
Menurut Sudan Doctors Network, selama pengepungan, sekitar 14.000 warga Sudan tewas akibat pengeboman, kelaparan, dan pembunuhan sewenang-wenang.
Laporan pembunuhan massal terhadap warga Sudan non-Arab juga semakin intens, di mana Human Rights Watch (HRW) mencatat orang-orang Massalit dan non-Arab di Darfur menjadi target pembunuhan RSF.
Berbagai unggahan di media sosial juga marak memperlihatkan bagaimana prajurit RSF menyerang brutal penduduk Sudan dan mengubur mereka dalam pemakaman massal.
Yale Humanitarian Research Lab baru-baru ini merilis citra satelit Kota El Fasher setelah RSF merebut kota tersebut. Citra satelit menunjukkan tubuh-tubuh manusia bergelimpangan dengan warna merah di sekelilingnya, yang diduga darah.
Sudan Doctors Network sementara itu juga melaporkan tentara RSF telah mengeksekusi siapa pun yang berada di dalam rumah sakit selama pengepungan. Menurut catatan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), sebanyak 460 orang dibunuh di Rumah Sakit Bersalin Saudi.
Associated Press (AP) juga membuat laporan serupa, yakni puluhan orang tewas dibantai RSF di sebuah rumah sakit.
Dilansir dari ABC Net, konflik Sudan ini telah menewaskan 150.000 warga akibat pertempuran, kelaparan, dan penyakit. Sekitar 21 juta orang juga dilanda kerawanan pangan akut, dengan 375.000 di antaranya berada di ambang bencana kelaparan.
Pada Maret 2024, UNICEF merilis laporan mengerikan yang menyatakan bahwa pasukan bersenjata di Sudan melakukan perkosaan dan kekerasan seksual terhadap anak-anak, bahkan yang usianya satu tahun. Sejumlah anak berakhir mencoba bunuh diri imbas trauma parah yang mereka alami.
"Tidak ada seorang pun yang tahu pasti apa yang terjadi di sana. Tapi yang kami tahu, ini tidak lain adalah kejahatan terhadap kemanusiaan dan bisa saja menjadi genosida," kata Bakry Elmedni, analis Sudan dan Associate Professor di Long Island University Brooklyn.
"Saya benar-benar merasa bahwa kita butuh bahasa baru untuk mendeskripsikan (kebrutalan) ini," lanjutnya.
Pada 15 April 2023, RSF terlibat perang dengan Angkatan Bersenjata Sudan (SAF) di ibu kota Khartoum. Kedua belah pihak saling baku tembak hingga akhirnya ibu kota diduduki RSF.
Konflik RSF dan SAF sendiri terjadi setelah keduanya bekerja sama menggulingkan pemerintahan Abdalla Hamdok pada 2021. Setelah penggulingan itu, SAF meminta RSF terintegrasi sepenuhnya ke dalam jajaran dan struktur komando militer.
Namun, RSF menolak karena ingin menjadi pemimpin. Kedua sekutu itu pun berperang untuk memperebutkan kekuasaan hingga saat ini.
(blq/dna)

















































