Jakarta, CNN Indonesia --
Ribuan siswa di Gaza merayakan kelulusan Sekolah Menengah Atas (SMA) mereka dalam suasana penuh suka dan duka.
Dua tahun perang telah merusak hampir seluruh sistem pendidikan di wilayah tersebut dan mengganggu proses belajar 56 ribu siswa angkatan 2025. Meski demikian, pengumuman kelulusan pada Kamis (13/11) kemarin tetap menghadirkan momen kebahagiaan yang langka.
Salah satu lulusan terbaik, Doaa Musallem (18) meraih nilai tertinggi di Gaza dengan perolehan 99,7 persen. Pencapaiannya membuat Menteri Pendidikan Palestina Amjad Barham menelepon langsung untuk mengucapkan selamat.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Kamu adalah pahlawan," ujarnya kepada Doaa, melansir CNN.
Namun bagi Doaa, kegembiraan itu tidak sempurna. "Kebahagiaan kami tidak utuh karena sosok yang menjadi penopang keluarga tidak ada di sini," katanya sambil mengenang ayahnya yang absen dari perayaan.
Ayah Doaa, Bassam Musallam, terluka parah pada November 2023 akibat serpihan ledakan ketika serangan Israel menghantam rumah tetangga mereka. Ia dievakuasi ke Mesir untuk perawatan pada April 2024 dan belum kembali sejak itu. Ia pun melewatkan banyak momen penting putrinya, termasuk pengumuman hasil kelulusan yang kemudian viral.
Saat Doaa mengirimkan foto dirinya dalam toga kelulusan kepada sang ayah, ia merasa seluruh Gaza ikut merayakan pencapaiannya.
Keceriaan seperti ini muncul di berbagai sudut Gaza. Pengumuman nilai ribuan siswa memunculkan suara sorakan, kembang api, serta tarian sederhana, meski Gaza masih berada di bawah reruntuhan dan blokade.
Mahmoud Elyan, lulusan yang mengungsi dari Rafah ke Gaza tengah, terlihat sangat gembira ketika membeli dan membagikan hidangan penutup kepada warga.
"Saya bahagia sampai tidak bisa berkata-kata," katanya. "Saya membeli makanan penutup untuk dibagikan karena sudah sangat lama masyarakat tidak melihat makanan manis sejak dua tahun perang dan pengungsian."
Namun tak semua keluarga dapat merayakan kelulusan dengan sukacita.
Seorang siswi berprestasi, Doha Nazmi Abu Dalal, yang mengungsi di Deir el Balah, meraih nilai hampir sempurna, tetapi ia meninggal pada 29 Oktober bersama 17 anggota keluarganya akibat serangan Israel, menurut otoritas rumah sakit. Ia tidak sempat melihat hasil perjuangan akademiknya.
Sistem pendidikan Gaza di titik runtuh
Menurut UNICEF, perang sejak Oktober 2023 telah menghancurkan hampir seluruh infrastruktur pendidikan Gaza dan mendorong tudingan scholasticide, yakni penghancuran sistematis terhadap pendidikan suatu bangsa.
Israel mengklaim Hamas menggunakan sekolah dan universitas sebagai tempat penyimpanan senjata atau pusat komando. Militer Israel menyatakan berusaha meminimalkan korban sipil, namun mengatakan Hamas "memanfaatkan infrastruktur sipil untuk tujuan teror."
Kerusakan yang terjadi sangat luas. UNICEF mencatat lebih dari 97 persen sekolah di Gaza rusak atau hancur. Data Kementerian Pendidikan Palestina menunjukkan setidaknya 18.591 pelajar tewas dan 27.216 lainnya terluka sepanjang perang. Selain itu, 792 tenaga pendidik meninggal dan 3.251 terluka.
Dalam situasi krisis kemanusiaan, banyak siswa terpaksa belajar daring meski koneksi internet, listrik, air, dan makanan sangat terbatas. Al-Hassan Ali Radwan, salah seorang lulusan, menggambarkan kesulitannya.
"Kami kesulitan dengan koneksi internet, ketiadaan listrik dan air, pengungsian, dan yang paling berat adalah kurangnya makanan," ujarnya kepada kantor berita WAFA di sebuah tempat penampungan di Khan Younis.
Di Gaza tengah, siswa lain bernama Dima merayakan kelulusan bersama keluarganya setelah melewati trauma saat belajar. Ia mengalami luka ringan ketika serangan Israel terjadi saat ia mengikuti les matematika pertamanya setelah perang dimulai.
"Saya sempat berhenti belajar karena takut," katanya. "Tapi saya harus melanjutkan karena masa SMA hanya terjadi sekali seumur hidup."
Meski puluhan ribu siswa siap melanjutkan pendidikan tinggi, mereka tidak memiliki kampus untuk didatangi. Kementerian Pendidikan Palestina mencatat 63 gedung universitas hancur total dalam dua tahun terakhir.
Perlengkapan pendidikan seperti alat tulis, tas, dan kebutuhan belajar lainnya juga sulit masuk ke Gaza meski ada gencatan senjata, karena tidak dianggap sebagai bantuan "penyelamat nyawa".
UNICEF menyebut hampir 92 persen fasilitas pendidikan membutuhkan rekonstruksi penuh atau perbaikan besar agar dapat berfungsi kembali.
Sebagian orang tua tetap berharap sekolah dan universitas dapat segera dibangun ulang.
"Meski Gaza penuh luka, kami ingin tetap merayakan dan bangkit dari penderitaan ini. Para siswa harus segera kembali ke ruang kelas," ujar ayah Dima.
Sementara itu, sebagian siswa berharap bisa mengejar beasiswa atau melanjutkan pendidikan di luar negeri.
"Ini bukan kehidupan. Sekolah dan universitas kami hancur," ucap salah satu lulusan, Mohamed Bilal Abu Faraj.
Ia juga menyerukan pembukaan perbatasan agar pelajar bisa melanjutkan pendidikan mereka.
Bagi Doaa, pengalaman kehilangan dan perjuangan keluarganya mendorongnya berencana mengambil pendidikan keperawatan. Ia berharap dapat melanjutkan studi di luar negeri dan akhirnya bisa bertemu kembali dengan ayahnya di sana.
(del/dna)














































