Gen Z Cepat Dewasa? Psikolog Jelaskan Fenomena Adulting di Usia Muda

3 hours ago 2
Daftar Isi

Jakarta, CNN Indonesia --

Di usia yang seharusnya masih penuh eksplorasi, banyak Gen Z justru sudah akrab dengan istilah adulting. Obrolan tentang cicilan, burnout kerja, hingga rasa "tua" di usia 20-an berseliweran di media sosial.

Tidak sedikit yang merasa bahwa masa muda kini lebih singkat, seolah transisi menuju dunia orang dewasa datang lebih cepat dibanding generasi sebelumnya.

Fenomena ini memunculkan kesan bahwa Gen Z jauh lebih dewasa dari usianya.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Padahal, menurut para ahli, apa yang mereka alami sejatinya bukan hal baru. Generasi sebelumnya pun menghadapi masa-masa penuh kebingungan serupa, hanya saja cara mengekspresikannya berbeda.

Psikolog dari Tabula Rasa, Arnold Lukito, menjelaskan ada sejumlah faktor yang membuat Gen Z terlihat lebih cepat matang dibanding milenial di masanya.

Berikut penjelasannya:

Gen Z tumbuh dalam era teknologi dengan akses informasi yang deras. Media sosial mempercepat paparan mereka pada isu-isu orang dewasa seperti finansial, politik, dan relasi.

"Remaja sekarang cenderung lebih cepat merasa 'dewasa' karena melihat, membandingkan, dan meniru gaya hidup orang dewasa secara terus-menerus. Proses ini dikenal sebagai observational learning," ujar Arnold kepada CNNIndonesia.com, Senin (15/9).

Riset juga menunjukkan bahwa paparan konten "dewasa" di media sosial berhubungan dengan tingkat kematangan yang dirasakan lebih tinggi.

2. Faktor otak dan neurokognitif

Secara biologis, otak manusia, khususnya prefrontal cortex yang berfungsi dalam perencanaan dan kontrol baru matang penuh di usia sekitar 25 tahun. Namun, stimulasi kognitif yang dialami Gen Z jauh lebih intens dibanding generasi sebelumnya.

Paparan informasi yang masif membuat mereka sering kali terlihat lebih cepat matang, meski secara neurologis proses perkembangan otak tetap sama.

3. Bahasa populer dan persepsi
Fenomena adulting sebenarnya tidak sepenuhnya baru. Menurut Arnold, istilah ini lebih merupakan produk budaya populer ketimbang konsep psikologi perkembangan.

"Gen Z hanya lebih ekspresif dalam mengeluhkan tanggung jawab hidup. Milenial juga mengalami beban serupa di usia 20-an, tetapi mereka belum punya istilah gaul seperti 'adulting' untuk menamainya," jelasnya.

Dengan kata lain, perasaan "cepat tua" juga bisa jadi ilusi media sosial. Algoritma memperbesar wacana tertentu, semakin sering melihat konten "adulting is hard," semakin kuat pula internalisasi bahwa seseorang sudah "dewasa" atau bahkan "tua."

Tak cuma Gen Z

Arnold mengingatkan, yang dialami Gen Z sejatinya bukan hal baru. Milenial pada awal 2000-an juga menghadapi "quarter-life crisis" ketika mulai masuk dunia kerja dan tanggung jawab. Bedanya, mereka tidak punya media sosial sebagai ruang ekspresi masif.

"Milenial yang sekarang berusia 30-40 tahun mungkin memandang masa 20-an mereka penuh kebebasan. Padahal riset waktu itu juga melaporkan keresahan yang sama. Fenomena ini berulang di setiap generasi muda saat memasuki transisi kedewasaan," kata Arnold.

Artinya, Gen Z bukan benar-benar "lebih cepat tua," melainkan lebih terlihat karena punya bahasa, media, dan ruang publik untuk membicarakan hal tersebut.

(tis/tis)

[Gambas:Video CNN]

Read Entire Article
| | | |