Interaksi Anak dan AI Meningkat, Regulasi Masih Tertinggal

12 hours ago 2

Jakarta, CNN Indonesia --

Kecerdasan buatan (AI) sudah menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari, bahkan bagi anak-anak. Namun, para ahli menilai pemerintah belum sigap menangani dampak psikologis yang bisa ditimbulkan dari interaksi anak dengan AI.

Psikolog klinis dari Eka Hospital Bekasi, Annisa Axelta mengatakan, saat ini memang belum banyak ditemukan kasus yang secara spesifik menyebut AI sebagai penyebab utama gangguan psikologis anak. Tapi, bukan berarti kondisinya aman-aman saja.

"Belum banyak bukan berarti belum ada. Bisa jadi kasusnya memang belum kelihatan atau belum dikenali sebagai dampak dari AI. Yang jelas, saya sudah mulai melihat indikasi awalnya," ujar Annisa kepada CNNIndonesia.com beberapa waktu lalu.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Beberapa gejala yang mulai muncul antara lain meningkatnya rasa kesepian, gangguan pada komunikasi interpersonal, dan pola kelekatan yang berubah, terutama pada anak-anak yang lebih sering berinteraksi dengan teknologi non-manusia ketimbang dengan orang tuanya sendiri.

"AI bisa membuat anak-anak terlalu nyaman dengan interaksi satu arah yang cepat, instan, dan seolah selalu benar. Akibatnya, mereka cenderung kesulitan saat harus menghadapi situasi sosial yang lebih kompleks dan penuh ketidakpastian," jelasnya.

Jika tidak ada intervensi atau pengaturan yang tepat, AI bisa menjadi faktor signifikan dalam memperburuk kondisi mental anak.

Dalam jangka panjang, Annisa memperkirakan, lima hingga sepuluh tahun mendatang akan ada peningkatan gangguan identitas, isolasi sosial, hingga burnout digital, terutama pada kelompok remaja.

"Kalau AI menjadi tempat utama anak berinteraksi bukan lagi sekadar alat bantu, maka akan ada pergeseran besar. Anak bisa kehilangan momen penting dalam pembelajaran sosial dan membangun relasi dengan orang tua," tuturnya.

Annisa menilai, sudah saatnya pemerintah bergerak lebih cepat. Penelitian mendalam, survei nasional, serta penyusunan pedoman penggunaan AI yang ramah anak menjadi langkah penting yang tidak bisa ditunda.

"Saat ini kita belum tahu seberapa besar masalahnya karena memang belum diteliti. Tapi dari gejalanya, sudah waktunya kita waspada. Jangan sampai nanti kita baru bertindak setelah kasusnya melonjak," tutup Annisa.

Pemerintah akui belum ada regulasi spesifik

ilustrasi anak main gadgetIlustrasi. Hingga saat ini, belum ada regulasi yang mengatur penggunaan AI pada anak. (istockphoto/Lacheev)

Sementara itu, pemerintah melalui Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) mengakui bahwa penggunaan AI belum masuk dalam radar pengkajian KemenPPPA. Tak heran jika sampai saat ini sulit bagi kita untuk mengukur seberapa besar dampak penggunaan AI terhadap anak.

Seperti yang telah dijelaskan di atas, belum ditemukannya kasus spesifik, bukan berarti anak Indonesia baik-baik saja. Bisa jadi ada kasus yang tidak terlaporkan dan terdata dengan baik hingga AI menjadi ancaman tersembunyi bagi anak.

"Belum dilakukan [survei]. Ini [AI] fenomena teknologi baru, bahkan dalam survei 2024 soal cyberbullying pun AI belum jadi bagian diskusi. Mungkin 2025-2026 isu AI bisa masuk dalam pembaruan survei," ujar Deputi Bidang Pemenuhan Hak Anak Pribudiarta Nur Sitepu saat ditemui di Gedung KemenPPPA, Jakarta, beberapa waktu lalu.

Lagi pula, menurut pria yang akrab disapa Pri ini, masalah terbesar bukan terletak pada kurangnya aturan, melainkan kurangnya kesadaran bersama. Ia menilai, ada kesenjangan besar antara orang tua dan anak dalam memahami teknologi.

"Anak-anak itu digital native, sementara orang tua baru belajar. Konflik muncul karena ada ketimpangan pengetahuan dan pendekatan," katanya.

Menurut Pri, masalah AI tidak bisa hanya bergantung pada satu kementerian atau kebijakan.

Seperti pepatah Afrika, 'It takes a village to raise a child' atau butuh satu kampung untuk membesarkan satu orang anak, masalah AI butuh keterlibatan semua pihak. Pemerintah, sekolah, komunitas, dan orang tua diharapkan terlibat untuk menangkal dampak buruk penggunaan AI pada anak. Karena dalam dunia yang semakin digital, anak tidak bisa tumbuh sendiri.

(asr/asr)

[Gambas:Video CNN]

Read Entire Article
| | | |