Jakarta, CNN Indonesia --
Manajemen risiko pariwisata Indonesia tahun ini mendapat rapor merah, sejumlah kejadian tak menyenangkan yang mencoreng sektor ini selama tahun 2025.
Pertengahan tahun lalu, pariwisata Indonesia digemparkan oleh kepergian turis Brasil karena terjatuh ke jurang saat mendaki Gunung Rinjani.
Tak hanya itu, baru saja sebuah Kapal Pinisi Dewi Anjani karam di Dermaga Pink, Labuan Bajo pada Senin pagi (29/12). Peristiwa ini terjadi di sekitar Bukit Pramuka, kapal tersebut sempat miring sampai akhirnya seluruh bagian kapal tenggelam.
Adapun kecelakaan lain yang melibatkan turis yang terjadi baru-baru ini, Jumat (26/12) yaitu pelatih Valencia FC, Fernando Martin Carreras meninggal bersama ketiga anaknya karena kecelakaan kapal di Labuan Bajo.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pasalnya, kapal yang mereka tumpangi dihantam ombak pada Jumat malam. Saat itu Martin sekeluarga berlayar menuju Pulau Padar, Martin tidur di kabin bagian lambung kapal bersama tiga anaknya. Sementara itu, istri Martin, Mar Martinez bersama putrinya tidur di kabin atas.
Dalam peristiwa nahas ini, istri Martin bersama putrinya berhasil selamat setelah keluar dari kabin, sementari Martin dan ketiga putranya berujung meninggal dunia. Kejadian ini lagi-lagi menjadi momok bagi pariwisata Indonesia.
Meskipun di penghujung tahun, cuaca ekstrem jadi ancaman yang sudah sering menjadi himbauan di pariwisata Indonesia, tetapi muncul pertanyaan bagaimana manajemen risiko pariwisata Indonesia? Terlebih lagi melihat sederet kecelakaan yang menimpa wisatawan.
Seorang pengamat pariwisata, Azril Azhari menekankan bahwa manajemen risiko merupakan prasyarat sebelum sebuah destinasi beroperasi. Sementara risiko terbagi menjadi dua kategori, yaitu risiko bencana dan risiko kecelakaan.
"Risiko bencana adalah ranah dari Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) dan Search and Rescue (SAR) dan pihak terkait lainnya. Namun, yang terjadi saat ini yaitu kecelakaan kapal wisata. Pertanyaannya, kapal ini sudah disertifikasi atau belum? Bahkan dalam ombak yang besar itu mereka kok bisa dibolehkan pergi dalam cuaca yang kondisinya kurang baik?" ujar Azril Azhari, seperti dilansir Detik.
Azril menyoroti kejadian olengnya kapal Martin. Kapal KM Putri Sakinah yang ditumpangi oleh keluarga Martin mengangkut 11 orang, yaitu enam penumpang bersama lima kru. Kapal meninggalkan Pulau Kalong pukul 20.30 WITA dan berlayar menuju Pulau Padar.
Setelah 30 menit berlayar, kapal mengalami mati mesin mendadak ketika terapung di tengah laut. Ketika gelombang laut tinggi menghantam sebanyak dua kali, kapal tersebut tak bisa bermanuver dan berujung tenggelam, menewaskan Martin dan ketiga anaknya.
Kejadian ini menimbulkan banyak pertanyaan di mata pengamat pariwisata tersebut, mulai dari mesin yang mati mendadak sampai seperti apa mitigasi risiko yang diambil ketika terjadi kecelakaan.
"Kalau kita analis itu banyak kesalahan-kesalahan internal kita sendiri. Mulai dari persyaratan mesinnya, kemudian sudah ada enggak mitigasi risikonya kalau terjadi apa-apa? Ini kan jadi masalah ini, bahkan tenggelam. Kok bisa mesin mati kemudian ada ombak dia tenggelam. Kok bisa ada izin melautnya? Saat mesin mati, tidak adakah mesin cadangan yang dibawa atau bagaimana?" sorot Azril.
Hal seperti ini yang membuat manajemen risiko pariwisata di Indonesia mendapat catatan penting. Menurut Azril, wisatawan yang datang akan melihat dari segi keamanan, kenyamanan, dan kesehatan selama berlibur ke Indonesia. Apabila Indonesia tidak berbenah diri dari sekarang, maka bisa berdampak pada pariwisata Indonesia di kemudian hari.
Sebab, penting bagi mereka yang menjalankan industri pariwisata di tanah air untuk memenuhi persyaratan keamanan, terlebih dua pertiga wilayah Indonesia adalah perairan atau laut.
"Walau laut berada di wilayah Kementerian Kelautan dan Perikanan, tetap saja Kementerian Pariwisata harus turut andil karena ini berkaitan dengan wisatanya," pungkasnya.
(ana/wiw)


















































