Rangkuman Sejarah Hari Ibu, Asal-usul, dan Tokoh yang Berjasa

3 hours ago 4
Daftar Isi

Jakarta, CNN Indonesia --

Peringatan Hari Ibu di Indonesia tidak lahir begitu saja, tetapi memiliki sejarah panjang yang terkait dengan upaya kaum perempuan dalam memperjuangkan hak-haknya.

Setiap tanggal 22 Desember, masyarakat Indonesia mengenang momentum bersejarah ini dengan berbagai kegiatan. Berikut rangkuman asal usul, sejarah, dan tokoh Hari Ibu.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Hari Ibu bukan sekadar perayaan kasih sayang, tetapi tonggak penting dalam gerakan emansipasi perempuan. Di balik perayaan ini, terdapat proses panjang yang melibatkan pemikiran kritis, gerakan sosial, hingga konsolidasi organisasi perempuan dari berbagai daerah.

Perkembangan tersebut tidak terlepas dari pengaruh para tokoh perempuan yang berani menyuarakan perubahan dan menolak keterbelakangan.

Dikutip dari buku Sejarah untuk Kelas XI Sekolah Menengah Atas (2006) karya Nana Supriatna, berikut penjelasan mengenai asal usul peringatan Hari Ibu, sejarah, dan tokoh perempuan yang berjasa.


Asal usul Hari Ibu di Indonesia

Hari Ibu yang diperingati setiap 22 Desember tidak hanya bertujuan merayakan peran ibu dalam keluarga, tetapi juga menghormati peran perempuan dalam memperjuangkan kemerdekaan dan kemajuan bangsa.

Akar sejarahnya berkaitan erat dengan tumbuhnya gerakan perempuan pada awal abad ke-20, ketika kesadaran mengenai pentingnya pendidikan, kesetaraan, dan peran sosial perempuan mulai menguat.

Salah satu tokoh paling penting dalam fase awal kebangkitan perempuan Indonesia adalah Raden Ajeng Kartini. Melalui pemikiran dan surat-suratnya yang terkumpul dalam buku Habis Gelap Terbitlah Terang (1899), Kartini menyoroti ketimpangan yang dialami perempuan dalam pendidikan, adat istiadat, serta partisipasi sosial.

Menurutnya, pendidikan merupakan kunci kemajuan perempuan, tidak hanya untuk meningkatkan kecerdasan, tetapi juga membangun sopan santun, budi pekerti, dan tanggung jawab sebagai pendidik pertama bagi anak-anak. Pemikiran Kartini yang progresif mendorong lahirnya gerakan perempuan Indonesia.

Kartini menolak konservatisme yang membatasi perempuan hanya pada ranah domestik. Ia menekankan bahwa tradisi yang tidak sesuai perkembangan zaman harus diperbarui, termasuk aturan yang mengharuskan perempuan hanya tinggal di rumah tanpa akses pendidikan.


Perkumpulan perempuan dan perkembangan gerakan kebangsaan

Setelah pemikiran Kartini menyebar dan sebagian perempuan Indonesia memperoleh akses pendidikan Barat, berbagai organisasi perempuan mulai bermunculan.

Salah satu yang paling awal dan berpengaruh adalah Putri Mardika (1912), sebuah organisasi yang bertujuan memajukan pendidikan bagi anak perempuan, termasuk menyediakan bantuan dana dan penerangan mengenai pentingnya pengajaran.

Selain itu, sejumlah sekolah khusus perempuan turut didirikan untuk membuka akses pendidikan yang lebih luas. Di Bandung, Raden Dewi Sartika mendirikan sekolah Kaoetamaan Istri pada 1904.

Sekolah-sekolah Kartini kemudian berdiri di berbagai kota seperti Jakarta (1913), Madiun (1914), Malang dan Cirebon (1916), Pekalongan (1917), serta Indramayu, Surabaya, dan Rembang (1918).

Kehadiran lembaga pendidikan ini menunjukkan meningkatnya kesadaran kalangan perempuan tentang perlunya peningkatan kualitas diri sebagai bagian dari pembangunan bangsa.

Pada 1920-an, gerakan perempuan semakin berkembang dengan lahirnya perkumpulan sosial dan organisasi kemasyarakatan. Di Minahasa berdiri organisasi De Gorontalosche Mohamedaansche Vrouwen Vereeniging, sedangkan di Yogyakarta muncul Wanita Utomo, yang mulai memasukkan perempuan ke dalam kegiatan sosial dan pendidikan dasar.

Corak kebangsaan yang semakin menguat setelah 1920 menyebabkan kebutuhan untuk membangun hubungan dan kerjasama antarorganisasi perempuan. Pengaruh propaganda nasionalisme dari Partai Nasional Indonesia (PNI) turut mendorong konsolidasi gerakan perempuan dalam skala nasional.


Kongres perempuan Indonesia dan lahirnya Hari Ibu

Tonggak utama dalam sejarah Hari Ibu adalah penyelenggaraan Kongres Perempuan Indonesia I pada 22-25 Desember 1928 di Yogyakarta. Kongres ini dihadiri oleh berbagai organisasi perempuan dari berbagai daerah.

Beberapa tokoh yang hadir antara lain Ny. Sukanto (Wanito Utomo), Nyi Hajar Dewantara (Taman Siswa bagian wanita), dan Nona Suyatin (Pemuda Indonesia bagian keputrian). Tujuan utama kongres adalah mempersatukan cita-cita serta memperjuangkan kemajuan perempuan Indonesia.

Dalam forum tersebut, para peserta membahas isu-isu penting seperti kedudukan perempuan dalam perkawinan, poligami, pendidikan, dan partisipasi sosial.

Hasil terpenting dari kongres ini adalah dibentuknya federasi organisasi perempuan bernama Perikatan Perempuan Indonesia (PPI), yang kemudian berubah menjadi Perserikatan Perhimpunan Istri Indonesia (PPPI) pada Kongres 1929 di Jakarta.

Kongres Perempuan Indonesia II (1935) kembali memperkuat pergerakan perempuan melalui pembahasan isu perburuhan, pemberantasan buta huruf, serta masalah perkawinan.

Kongres ini mendapat perhatian dari Komite Perempuan Sedunia di Paris, menandakan bahwa gerakan perempuan Indonesia telah diakui secara internasional.

Pada Kongres Perempuan Indonesia III tahun 1938 yang dipimpin Ny. Emma Puradireja, sebuah keputusan besar tanggal 22 Desember ditetapkan sebagai Hari Ibu.

Keputusan ini bukan hanya bentuk penghormatan kepada ibu sebagai figur keluarga, tetapi sebagai simbol kebangkitan perempuan Indonesia yang berjuang dalam ranah sosial, pendidikan, dan politik.

Nah, itulah pemahaman mendalam tentang Hari Ibu. Semoga bermanfaat.

(gas/fef)

Read Entire Article
| | | |