'Tafsir' Baru Dior dalam Debut Jonathan Anderson

3 hours ago 1

Jakarta, CNN Indonesia --

Tahun ini, Paris Fashion Week dipenuhi pergantian direktur kreatif di sederet rumah mode besar. Dari semua yang dinanti, debut Jonathan Anderson untuk Dior pada Rabu (1/10) menempati posisi teratas.

Dior bukan sekadar merek. Label ini adalah salah satu nama besar dalam industri mode dunia. Dior identik dengan glamor aristokrat, sopan santun, dan sejarah panjang sejak Christian Dior meluncurkan 'New Look' pada 1947.

Pada era di mana konsep feminitas tradisional sering dibaca sebagai sikap politik, langkah Jonathan di rumah mode ini memenuhi banyak ekspektasi para kritikus. Ia menghadirkan beberapa provokasi, kejutan, dan sesuatu yang menyegarkan.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Panggung besar, pesan besar

Jonathan tidak memilih jalan kecil atau intim. Show ini dirancang oleh sutradara Luca Guadagnino, dengan piramida terbalik raksasa di tengah ruangan di taman Tuillerie di tengah kota Paris.

Film pendek karya dokumenteris Adam Curtis membuka show ini. Film menampilkan perjalanan visual tentang sejarah Dior, dari John Galliano hingga Maria Grazia Chiuri, dibalut ironi dengan lantunan "Born to Die" dari Lana Del Rey.

Pesan yang muncul seakan terucap, bahwa heritage bisa saja dihormati, tapi juga bisa dipatahkan dan dirombak ulang.

Sejak awal, pertunjukan ini terasa seperti orkestra simfoni yang utuh, di mana setiap instrumen dimainkan bersamaan, terasa cepat, dan megah. Dior versi Jonathan adalah sebuah perayaan besar dan sekaligus taruhan bahwa tampil besar-besaran bukan berarti kehilangan makna.

Gaun eksperimental dan busana komersial

Jonathan menghadirkan gaun-gaun spektakuler. Sebagai contoh, jersey melilit pada crinoline kawat yang bergoyang seperti makhluk laut, gaun transparan dengan pita yang bergetar seperti serangga, hingga balutan sutra yang jatuh menyapu lantai. Koleksi ini jelas ditujukan untuk karpet merah, dari Jennifer Lawrence sampai Greta Lee, yang sebelumnya kerap memakai karya Jonathan di Loewe.

Jonathan menambahkan ciri khasnya sendiri, seperti pita, emblem, lilitan, dan pusaran dalam berbagai iterasi, bentuk, serta wujud, yang menciptakan permainan visual berulang tapi selalu berbeda.

Tapi, lebih dari sekadar menciptakan show collection, Jonathan menyelipkan strategi komersial: miniskirt denim, celana boot-cut, blazer, kemeja putih berpita, hingga jaket cape. Semua tampak siap dipakai sehari-hari, dan tentu saja siap secara komersial.

Di balik kemeriahan couture, Jonathan memberi isyarat sederhana: pakaian yang bisa dijual massal juga bisa punya filosofi. Baginya, komersialitas bukan musuh, melainkan bagian dari narasi mode itu sendiri.

Simak selengkapnya di halaman berikutnya..


Read Entire Article
| | | |