Tahapan Memperkenalkan AI Berdasarkan Usia Anak, Ortu Wajib Tahu

13 hours ago 2
Daftar Isi

Jakarta, CNN Indonesia --

Orang tua mungkin tidak menyadari kapan tepatnya jarak emosional dengan anak mulai terbentuk. Tidak ada pertengkaran, tidak pula ada kata kasar. Semua terasa baik-baik saja.

Tapi suatu hari, anak tak lagi bercerita tentang hari-harinya, dan lebih memilih mengobrol dengan layar ponsel di genggamannya.

Bukan karena tidak percaya pada ayah dan ibu. Tapi mereka punya 'temannya' sendiri, AI, entah berupa chatbot atau asisten virtual. Mereka menawarkan kenyamanan, menyediakan jawaban cepat, validasi instan, dan yang terpenting selalu tersedia, kapanpun dibutuhkan.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Fenomena ini kian lazim. Mesin semakin tak berjarak, tapi orang tua kian dianggap tak ada, hanya sosok tanpa sentuhan emosi dan kedekatan, bak asing di satu atap.

AI kini tidak hanya menjadi alat bantu belajar, tetapi juga tempat pelarian emosi. Jika tidak direspons dengan bijak, teknologi ini bisa menjadi pengganti relasi manusia yang sebenarnya.

Lantas, apa yang terbaik yang bisa orang tua lakukan?

Psikolog klinis Arnold Lukito menyebut, meski terdengar mengerikan, orang tua tak bisa serta merta melarang anaknya menggunakan AI. Pelarangan menyeluruh justru dapat menimbulkan efek sebaliknya.

"Anak bisa merasa tertinggal dari teman-temannya, atau malah semakin penasaran dan mencari tahu sendiri tanpa pengawasan," kata Arnold saat berbincang dengan CNNIndonesia.com, beberapa waktu lalu.

Maka, yang dibutuhkan bukan benteng larangan dengan menutup semua akses untuk anak. Justru yang dibutuhkan adalah membangun jembatan pendampingan.

Tahapan bijak memperkenalkan AI pada anak

Karena larangan sangat tidak disarankan, yang perlu dilakukan orang tua adalah menyesuaikan. Sesuaikan penggunaan AI dengan usia anak.

Berikut panduan bijak memperkenalkan AI berdasarkan usia anak.

1. Usia 0-7 tahun

Ilustrasi anak sekolahIlustrasi. Orang tua perlu memperkenalkan AI pada anak sesuai usia. (Istockphoto/ Fizkes)

Di usia ini sebaiknya hindari AI berbasis percakapan. Fokus pada interaksi nyata, yakni bermain, berimajinasi, dan bercakap langsung dengan orang tua. Dunia nyata adalah fondasi utama perkembangan emosi dan sosial anak.

2. Usia 8-10 tahun

Perkenalkan AI dalam konteks edukatif. Gunakan untuk aktivitas seperti tanya jawab ilmiah atau membantu tugas sekolah. Selalu dampingi dan diskusikan bagaimana AI bekerja dan dari mana jawabannya berasal.

3. Usia 11-13 tahun

Gunakan AI untuk eksplorasi kreatif dan diskusi moral.Ajak anak berdiskusi: "Menurut kamu, AI ini adil enggak?". Latih anak untuk tidak menerima informasi mentah-mentah dari teknologi.

4. Usia 14 tahun ke atas

Ajarkan etika digital dan bias algoritma. Diskusikan keterbatasan AI, privasi data, dan bagaimana menyaring informasi. Fokus pada keterampilan berpikir kritis dan tanggung jawab digital.

Kehadiran nyata tetap dibutuhkan

Arnold menegaskan, AI adalah alat bantu, bukan pengganti. Anak tetap membutuhkan kelekatan emosional yang nyata, bukan sekadar jawaban cepat dari sistem cerdas.

Untuk itu, kehadiran orang tua tidak cukup hanya secara fisik. Diperlukan kehadiran emosional, perhatian yang tulus, dan ruang obrolan yang tak diinterupsi notifikasi.

Bagaimanapun, kata Arnold, kehadiran orang tua tetap tak tergantikan. Bukan hanya sebagai pengawas, tapi sebagai tempat anak kembali ketika dunia terasa rumit.

Duduk bersama, bertanya dengan tulus, dan mendengarkan tanpa menghakimi bisa jauh lebih berharga daripada teknologi secanggih apa pun.

"Karena pada akhirnya, anak-anak tak butuh jawaban instan. Mereka butuh pelukan yang nyata, dan perhatian yang tak bisa diberikan oleh algoritma," tutup Arnold.

(tis/asr)

[Gambas:Video CNN]

Read Entire Article
| | | |