Sidoarjo, CNN Indonesia --
Reruntuhan beton yang rapuh, ruang sempit dan udara pengap, menjadi keseharian Tim SAR di lokasi ambruknya gedung Pondok Pesantren Al Khoziny, Buduran, Sidoarjo.
Setiap detik yang mereka habiskan di bawah reruntuhan adalah pertaruhan nyawa. Rasa takut yang selalu menghantui, tak membuat mereka gentar.
Tekadnya satu; menyelamatkan para santri jauh lebih penting.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Cupes (34), salah satu anggota tim rescue dari BPBD Jawa Timur, mengatakan betapa sulitnya menembus reruntuhan bangunan yang membentuk 'pancake model' tersebut. Celah-celah kecil nyaris tak bisa ditembus.
"Ya, kalau di dalam kita mau masuk itu enggak bisa. Sulit, harus bongkar-bongkar dulu. Nah, bongkar itu kita pakai alat cutting untuk motong beton sama besi," kata Cupis saat ditemui CNNIndonesia.com di sela jeda evakuasi.
Belum lagi kondisi bangunan yang rapuh membuat setiap langkah Cupes berisiko. Ruangan sempit dan reruntuhan tak stabil. Getaran kecil saja bisa memicu runtuhan baru.
Itulah mengapa tim harus bergerak hati-hati dan sering kali mereka harus merangkak atau bahkan tiarap demi menjangkau korban.
"Ruang sempit terus gedungnya itu rapuh. Enggak stabil. Kena getaran dikit ada rontokan beton-beton itu," ucapnya.
Pada hari pertama, ia bersama timnya berhasil mengevakuasi dua korban selamat. Namun di dekat mereka, ada dua korban lain yang sudah tak bernyawa, terjepit beton. Pemandangan itu jelas memilukan baginya.
"Kemarin yang hari pertama, kita evakuasi dua orang. Tapi ada empat di sana. Yang dua sudah meninggal kejatuhan beton," tuturnya lirih.
Upaya penyelamatan bukan cuma menemukan dan mengangkat korban. Kadang tim harus menggali parit kecil secara manual, sedikit demi sedikit, untuk membuka jalur aman.
Di awal-awal pencarian, alat berat nyaris tak bisa dipakai karena dikhawatirkan getarannya justru merobohkan sisa bangunan.
"Proses nggalinya itu manual. Kita enggak bisa langsung pakai drill besar. Takutnya getarannya nanti membuat runtuh. Meskipun ada penyangga tambahan, tetap rawan," jelas Cupes.
Di antara gelap dan sesak, mereka kerap harus memberi suplai makanan dan minuman kepada korban yang masih hidup dengan cara paling sederhana, menggunakan kayu panjang untuk menyodorkan ke dalam celah sempit.
Bagi tim SAR, bahaya adalah teman sehari-hari. Cupes mengaku, setiap kali masuk ke celah reruntuhan, ia harus menakar risiko. Jika struktur bangunan tak memungkinkan, maka mereka keluar.
Jika masih bisa, mereka masuk dengan berbekal doa dan pengawasan safety officer di belakang. Mereka berharap selamat, dari 'monster' runtuhan susulan yang sewaktu-waktu bisa mencengkram nyawa.
"Kalau tidak memungkinkan, kita keluar. Kalau masih memungkinkan, kita masuk. Tapi tetap ada safety officer di belakang. Kalau ada runtuhan kecil, bisa langsung ditarik," ujarnya.
Misi penyelamatan juga berarti kondisi tubuh mereka harus dijaga. Tim rescue bergantian setiap dua hingga tiga jam. Istirahat dilakukan seadanya, di posko dengan alas matras, atau bahkan tikar di jalanan.
"Rolling terus itu, 24 jam penuh. Istirahatnya ya di Posko. Alasnya ya matras seadanya," kata Cupes.
Pengalaman serupa dirasakan Rian (22), relawan SAR asal Surabaya. Sebagai relawan muda, ia turun langsung ke lorong-lorong sempit reruntuhan.
"Kalau posisi untuk masuk kita enggak bisa berdiri. Paling enggak tengkurap. Bisa berjam-jam di dalam, sampai enggak sempat lihat jam," ujarnya.
Sempitnya ruang membuat hanya dua orang bisa masuk sekaligus. Untuk menemukan titik korban berada, mereka mengandalkan suara-suara samar di balik reruntuhan.
"Kita mencari titik itu dari suara-suara korban. Kayak minta tolong. 'Tolong, Mas, tolong Mas,' begitu," kata mahasiswa Universitas 17 Agustus 1945 (Untag) Surabaya ini.
Ia menambahkan, untuk menopang struktur agar tak runtuh saat penyelamatan, mereka memakai peralatan seperti lifting bag, semacam kantung udara yang bisa mengembang untuk menyangga beton.
"Supaya tidak runtuh semuanya ketika kita masuk," ucapnya.
Rian hanya bisa beristirahat sekitar tiga jam sebelum kembali masuk bergantian dengan tim lain. Kondisi fisik dipaksa bertahan, meski tubuh lelah dan punggung sakit karena terlalu lama merangkak di ruang sempit.
Tapi hal itu tak pernah jadi alasannya mundur. Baginya, yang terpenting adalah nyawa yang bisa diselamatkan.
"Kalau kekuatan masih kuat ya bisa nonstop, rolling terus," pungkasnya.
Gedung tiga lantai termasuk musala di asrama putra Pondok Pesantren Al Khoziny di Buduran, Sidoarjo, ambruk, Senin (29/9) sore.
Saat kejadian, diketahui ada ratusan santri sedang melaksanakan Salat Ashar berjemaah di gedung yang masih dalam tahap pembangunan tersebut.
Diketahui, hingga Jumat (3/10) malam, korban yang berhasil ditemukan berjumlah 118 orang. Terdiri 104 dalam kondisi selamat, 14 meninggal dunia. Sedangkan yang belum ditemukan berjumlah 49.
(frd/agt)