Jakarta, CNN Indonesia --
Jangan takut dalam menghadapi krisis, termasuk dalam menjalani bisnis. Karena siapa tahu krisis bisa membuat kita menjadi besar.
Seperti yang terjadi pada Aloke Lohia. Pernah berhadapan dengan sejumlah krisis, ia kini tumbuh menjadi orang kaya.
Forbes mencatat total kekayaannya saat ini mencapai US$1,5 miliar atau setara Rp24,3 triliun (Kurs Rp16.216 per dolar AS).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Harta itu menjadikannya orang terkaya nomor 17 di Thailand.
Lalu siapa sejatinya Aloke Lohia?
Mengutip berbagai sumber Aloke Lohia merupakan pengusaha kelahiran Kalkuta, India pada 1958 lalu.
Ayahnya bernama Mohan Lal Lohia. Ia seorang pengusaha dan tokoh bisnis terkemuka India pendiri Indorama Corporation dan Lohia Foundation.
Sementara kakaknya adalah Sri Prakash Lohia, orang terkaya nomor 6 di Indonesia.
Tidak banyak informasi masa kecil yang bisa digali dari kehidupan Aloke Lohia.
Yang pasti, karena ayahnya seorang pebisnis, ia pernah diajak berpetualang hidup ke sejumlah negara. Mengutip berbagai sumber, Aloke pernah dibawa ayahnya ke Thailand saat baru lahir.
"Ayah saya tinggal di sembilan negara selama 1950-an hingga 1970-an, dan ia mengalami kesulitan yang nyata pada masa itu," katanya seperti dikutip dari masalathai.
Hingga akhirnya, pada 1972, sang ayah tiba di Indonesia. Di Indonesia inilah ayahnya kemudian membangun perusahaan yang kelak bernama Indorama.
Nama Indorama merupakan gabungan dari dua kata; Indo yang berarti Indonesia dan Rama adalah dewa mitologi India.
Pada lima tahun pertama, operasi perusahaan sempat berjalan berat. Namun setelahnya, Indorama berkembang menjadi produsen bahan baku tekstil terbesar di Indonesia dan memiliki fasilitas manufaktur yang tersebar di seluruh Indonesia, Uzbekistan, dan Thailand.
Di sanalah bisnis utama keluarga Aloke dimulai. Di saat itu pula perjalanan hidup Aloke mulai terlihat.
Setelah lulus kuliah dan mendapat gelar Sarjana Perdagangan dari Universitas Delhi dan meraih gelar Doktor Kehormatan Administrasi Bisnis dari Universitas Teknologi Rajamangala Krungthep di Thailand, ia bergabung dengan perusahaan yang didirikan ayahnya pada 1978.
Ia dipercaya menjadi direktur keuangan di Indorama dari 1979 hingga 1987.
Namun, pada akhir 1980-an, ayahnya membelah kerajaan bisnisnya. Hal itu, ia lakukan demi mencegah perselisihan keluarga di masa mendatang.
Aloke dikirim ke Thailand. Kebetulan pada 1988 ayahnya menerima telpon dari teman lamanya yang ingin memulai pabrik kimia di Thailand.
Sang teman membutuhkan seseorang yang memiliki uang tunai untuk mengelolanya.
Ia mengirim Aloke Lohia untuk melihatnya. Bahan kimia yang ingin diproduksi oleh sang teman tersebut, alkohol furfuraldehida.
Bahan kimia itu terbuat dari tongkol jagung dan digunakan dalam industri farmasi dan pengecoran baja.
Aloke Lohia sejatinya asing dengan industri itu. Namun, ia bersedia mengambil risiko, karena saat itu Thailand, dengan sumber daya pertanian dan minyak dan gasnya yang besar, memiliki reputasi sebagai tempat yang hemat biaya untuk memproduksi bahan kimia khusus.
Aloke Lohia menerima hadiah US$5 juta dari ayahnya. Ia pindah secara permanen ke Bangkok dan membangun pabrik tersebut, yang akhirnya menjadi salah satu produsen bahan kimia terbesar di dunia.
Pada tahun 1994, Lohia mencoba peruntungan lain. Memanfaatkan keahlian keluarganya di bidang tekstil, ia membuka pabrik benang wol dengan mendirikan Indorama Holdings.
Usaha juga berkembang pesat. Namun, hal itu belum membuatnya berhenti. Ia tetap melirik bisnis lain.
Menyadari bahwa Polyethylene Terephthalate (PET), yang digunakan dalam industri pengemasan, sangat diminati tetapi persediaannya terbatas, ia kemudian mendirikan perusahaan produsen PET pertama di Thailand pada 1995.
Perusahaan ini juga akhirnya berkembang pesat dan menyebar ke seluruh dunia, dari Amerika Utara hingga Eropa, Asia hingga Afrika.
Perusahaan memasok bahan PET ke perusahaan global terkemuka seperti Coca-Cola, Pepsi, dan Johnson & Johnson.
Sejak pabrik PET didirikan , Indorama Ventures berkembang. Ia menjadi perusahaan PET terbesar di dunia saat ini dengan pendapatan sebesar US$7,5 miliar pada 2013.
Mengutip Bloomberg, PET menyumbang sekitar 52 persen pendapatan Indorama pada 2018. Kontribusi itu lebih besar jika dibandingkan dari lini usaha produksi serat dan benang yang hanya menyumbang 29 persen.
Seiring berjalannya waktu, Lohia terus mengembangkan perusahaannya hingga mencakup 46 operasi di 18 negara di seluruh dunia.
Aloke bercerita kesuksesan dalam menjalankan usaha itu tak terlepas dari sejumlah strategi yang dijalankannya. Salah satunya, menerapkan prinsip kehati-hatian dan terukur dalam mengambil setiap keputusan.
"Keluarga saya di Indonesia memang membantu mendukung keuangan perusahaan dalam 5-7 tahun pertama, tapi kami sepenuhnya membiayai sendiri sejak 1995. Dengan setiap dolar yang kami hasilkan diinvestasikan kembali ke dalam bisnis. Pada tahun-tahun awal tersebut, kami berhati-hati dan terukur karena memang harus demikian," katanya.
Selain itu, ia selalu berprinsip untuk tidak takut dalam menghadapi krisis. Ia selalu menganggap krisis sebagai pelajaran. Prinsip itulah yang kemudian berhasil membawanya keluar dari sejumlah krisis yang menerpa usahanya.
Krisis itu antara lain; Krisis Tom Yum Kung pada tahun 1997, epidemi SARS, Krisis Keuangan 2008, dan pandemi COVID-19.
Ia mengatakan setiap krisis mengajarkan dirinya dan perusahaan untuk beradaptasi.
"Krisis Tom Yum Kung, misalnya, mengajarkan kami untuk tidak menaruh semua telur dalam satu keranjang, dan hal itu mendorong kami untuk melakukan diversifikasi dan merambah pasar luar negeri, yang membuka jalan bagi jangkauan global kami," katanya.
Karena prinsip dan strategi itu, pada 2022, Indorama Ventures telah menjadi perusahaan senilai US$20 miliar.
Karena prinsip dan strategi juga ia bisa sekaya seperti sekarang ini.