Apa yang Harus Dibenahi Polri Lewat Komite Reformasi Kepolisian?

3 hours ago 3

Jakarta, CNN Indonesia --

Pemerintah RI tengah menyiapkan pembentukan Komite Reformasi Kepolisian yang bakal diteken lewat Keputusan Presiden (Keppres) Prabowo Subianto.

Menteri Sekretaris Negara Prasetyo Hadi menyebut salah satu tokoh yang sudah bersedia bergabung dengan komite adalah mantan Menko Polhukam Mahfud MD. Selain itu, anggota komite nanti juga ada dari mantan Kapolri yang belum diungkap secara gamblang sosoknya.

Lantas, apa yang harus diperhatikan komite dalam mereformasi institusi Polri?

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Peneliti HAM dan Reformasi Sektor Keamanan SETARA Institute Ikhsan Yosarie mengatakan Komite Reformasi Kepolisian yang hendak dibentuk tidak boleh berhenti sebagai respons jangka pendek yang bersifat simbolis.

Ikhsan ingin komite tersebut diarahkan sebagai instrumen strategis untuk mempercepat transformasi kepolisian dan penyelesaian masalah struktural dan kultural kepolisian.

"Tanpa visi ke arah tersebut, komisi ini akan memicu anggapan bahwa pembentukannya merupakan gimik politik belaka untuk meredam kritik publik tanpa menghasilkan perubahan substantif," ujar Ikhsan kepada CNNIndonesia.com, Selasa (23/9) malam.

Ikhsan berpendapat keberadaan Komite Reformasi Kepolisian juga perlu diarahkan untuk visi yang lebih luas, yakni penguatan demokrasi. Sebab, kata dia, dalam beberapa tahun terakhir Polri tidak saja menghadapi krisis kepercayaan, tetapi juga menjadi salah satu aktor utama dalam praktik regresi demokrasi.

Tanpa desain progresif bagi kerja-kerja komite ini, terang Ikhsan, Polri berisiko terus menjadi sumber regresi demokrasi serta menjadi penopang bagi lahirnya otoritarianisme baru.

Ikhsan menuturkan gagasan reformasi kepolisian bukan isu yang benar-benar baru. Kata dia, sudah lama masyarakat sipil termasuk SETARA Institute mendorong agenda reformasi dan transformasi kepolisian.

SETARA Institute, terang Ikhsan, mencatat 130 masalah aktual yang mengemuka dan melekat dalam tubuh Polri. Masalah-masalah itulah yang mengakibatkan transformasi Polri mandek.

Ratusan permasalahan tersebut diklasifikasikan secara tematik ke dalam 12 rumpun masalah yang menuntut perbaikan sistemik oleh Polri.

Dalam studi 'Desain Transformasi Polri untuk Mendukung Visi 2045', sebanyak 12 rumpun masalah pokok tersebut didapatkan melalui pemetaan aspirasi publik, baik yang terdapat di media sosial, pemberitaan media, maupun keterlibatan advokasi SETARA dalam isu terkait.

Pemetaan itu juga mengonfirmasi ragam masalah dalam reformasi Polri yang tersebar pada sejumlah bidang. Jika dikerucutkan, 12 rumpun masalah tersebut dikelompokkan menjadi lima rumpun pokok permasalahan prioritas dalam akselerasi reformasi Polri.

Yakni akuntabilitas pengawasan terhadap Polri; akuntabilitas kinerja Polri dalam penegakan hukum; akuntabilitas tata kelola pendidikan, organisasi, dan manajemen sumber daya Polri; akuntabilitas kinerja keamanan dan ketertiban masyarakat; dan akuntabilitas kinerja perlindungan, pengayoman, dan pelayanan masyarakat.

Penyikapan sistemik tersebut semakin diperlukan mengacu pada kuantifikasi persoalan-persoalan tersebut melalui hasil survei terhadap 167 ahli yang dilakukan SETARA Institute.

Hasil survei menunjukkan 61,6 persen ahli menilai kepercayaan publik terhadap Polri dalam menjalankan tugas dan fungsinya tidak baik. Hanya 16,8 persen yang menyatakan baik. Kemudian 49,7 persen ahli menyatakan pengaruh Polri dalam menjaga demokrasi Indonesia tidak baik. Hanya 19,8 persen yang menyatakan baik.

Lalu 51,2 persen ahli menyatakan pelaksanaan kepolisian yang demokratis dan humanis tidak baik. Hanya 19,9 persen yang menyatakan baik. Dalam konteks integritas Polri dalam penegakan hukum, 58,7 persen menyatakan tidak baik. Hanya 16,6 persen yang berpendapat sebaliknya.

Selanjutnya 46,1 persen ahli menilai kinerja tata kelola kelembagaan Polri yang akuntabel dan transparan tidak baik, dan hanya 15,6 persen yang menilai baik.

"Sementara pada aspek pelaksanaan kepolisian yang proaktif dalam memenuhi kebutuhan masyarakat, 46,4 persen menilai cukup baik. Hanya 25,9 persen ahli mengatakan tidak baik dan 27,7 persen menilai baik," tulis SETARA Institute dalam studinya tersebut.

Ikhsan memberi sejumlah catatan terhadap Komite Reformasi Kepolisian.

Pertama, dia meminta kinerja komite tersebut ditopang legitimasi politik dari presiden, regulasi yang kuat dengan kewenangan nyata dalam merumuskan agenda perubahan dan memastikan tindak lanjutnya, serta keanggotaan yang independen, profesional, dan progresif.

Tanpa prasyarat demikian, menurut dia, keberadaan dan hasil kerja komite hanya akan menjadi catatan administratif yang mudah diabaikan.

Ikhsan mengatakan pihaknya telah mendeteksi kecenderungan berulang permasalahan kultural dan struktural dalam upaya reformasi Polri, bahkan persoalan yang sama telah terjadi sejak era Presiden Gus Dur hingga kini.

Kedua, berdasarkan pandangan para ahli, SETARA Institute mengidentifikasi lima kelompok permasalahan prioritas Polri sebagaimana disebut di atas. Ikhsan berharap komite menempatkan lima permasalahan tersebut sebagai prioritas dalam reformasi Polri.

Kemudian, dalam rangka mendukung agenda reformasi dan transformasi Polri, SETARA Institute menyusun desain transformasi yang komprehensif. Dalam desain tersebut, terdapat 4 pilar sebagai basis reformasi Polri.

Yakni Polri yang demokratis-humanis, Polri yang berintegritas-antikorupsi, Polri yang proaktif-modern, dan Polri yang presisi-transformatif.

Ikhsan menambahkan pembentukan Komite Reformasi Kepolisian merupakan langkah signifikan dalam demokratisasi sektor keamanan. Hanya saja, hal itu nanti dapat terukur jika komite benar-benar bekerja secara independen, transparan dan berorientasi pada perubahan substantif.

Di samping itu, kata Ikhsan, pembentukan komite juga harus dibarengi dengan agenda-agenda perbaikan kelembagaan dan kinerja lembaga lainnya, termasuk lembaga legislatif, kementerian dan badan negara.

"Reformasi Polri harus ditempatkan sebagai salah satu agenda mendasar bagi konsolidasi demokrasi di Indonesia. Agenda ini bukanlah 'kosmetik' dan respons sesaat terhadap krisis legitimasi kelembagaan pemerintahan negara pada umumnya, termasuk pada sektor keamanan," ungkap dia.

Lanjut ke halaman berikutnya...


Read Entire Article
| | | |