Jakarta, CNN Indonesia --
Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo buka suara soal redenominasi rupiah. Menurutnya, kebijakan mengubah Rp1.000 menjadi Rp1 itu membutuhkan persiapan yang lama.
Perry mengatakan pihaknya saat ini lebih fokus menjaga stabilitas dan mendorong pertumbuhan ekonomi.
"Yang berkaitan dengan redenominasi, tentu saja kami pada saat ini lebih fokus menjaga stabilitas dan mendorong pertumbuhan ekonomi, itu fokusnya adalah seperti itu," kata Perry dalam Rapat Kerja dengan Komisi XI DPR, dikutip detikfinance, Rabu (12/11).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Apalagi redenominasi memerlukan timing dan persiapan yang lebih lama," sambungnya.
Rencana redenominasi rupiah muncul dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 70 Tahun 2025 tentang Rencana Strategis Kementerian Keuangan Tahun 2025-2029
"RUU tentang Perubahan Harga Rupiah (Redenominasi) merupakan RUU luncuran yang rencananya akan diselesaikan pada 2027," bunyi PMK 70/2025 yang ditandatangani Purbaya.
Bank sentral lewat situs resminya menjelaskan redenominasi rupiah adalah penyederhanaan penulisan nilai barang dan jasa yang diikuti pula dengan penyederhanaan penulisan alat pembayaran atau uang.
Penyederhanaan hanya dilakukan dengan menghilangkan sejumlah angka nol di uang. Redenominasi tidak mengubah nilai dari uang tersebut.
Guru Besar bidang Ekonomi Moneter dan Perbankan Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Airlangga (Unair) Surabaya Prof Wasiaturrahma menyatakan sejumlah kekhawatiran mendalam merespons rencana redenominasi itu.
Menurut Rahma, langkah ini dinilai tidak terlalu mendesak dan justru menyimpan sejumlah risiko bagi perekonomian nasional. Terutama di tengah ketidakpastian global yang hingga saat ini masih dirasakan sebagian besar masyarakat.
"Tidak ada urgensinya. Sektor bisnis tidak ada yang komplain dan bilang harus redenominasi. Malah bahaya karena banyak barang-barang yang harganya masih seribu dua ribu. Kalo seribu jadi seperak, barang-barang itu susah naik secara pecahan. Akibatnya kalo naik bisa menyebabkan inflasi," ujar Rahma secara terpisah.
Rahma juga mengingatkan dampak psikologis yang tidak boleh terabaikan. Ia menerangkan redenominasi berisiko menimbulkan persepsi kemiskinan yang mendadak di kalangan masyarakat berpenghasilan rendah.
"Juga jangan lupa dampak psikologisnya. 190 juta rakyat kita masih hidup dengan 50 ribu perak per hari. Kalau 50 ribu jadi 50 perak mereka bisa merasa tiba-tiba jadi 'miskin' sekali," ucapnya.
Menurutnya, tantangan terberat lainnya adalah kondisi stabilitas ekonomi global yang masih labil. Rahma menyoroti kondisi fiskal banyak negara, termasuk Amerika Serikat yang defisitnya mencapai enam persen.
"Probability US bakal resesi memang cuma 30 persen, tapi itu angka yang tinggi untuk Wall Street. Ini akan berdampak pada ekonomi Indonesia. Ekonomi belum stabil, pertumbuhan, inflasi dan tekanan eksternal, persoalan struktural domestik masih rentan dan uncertainty," sebutnya.
Ia juga menuturkan peran perbankan dan lembaga keuangan masih belum optimal untuk mendukung keberhasilan kebijakan ini. Kegagalan dalam sosialisasi dan transisi justru berisiko merusak kepercayaan publik.
"Karena publik apalagi orang awam menganggap redenominasi ini sebagai bentuk pemotongan uang atau biasa disebut sanering. Justru nanti membuat panic buying pada masyarakat," ungkapnya.
Di akhir, ia berpesan kepada pemerintah untuk tidak terburu-buru dalam melontarkan wacana redenominasi yang mampu memunculkan keresahan publik.
"Saat ini publik mengurus untuk kestabilan keuangan dalam rumah tangganya masing-masing akibat pelemahan pertumbuhan ekonomi dan tidak tersedianya perluasan kesempatan kerja baru," pungkasnya.
(fby/sfr)
















































