For The Wind: Ketika Kemenangan Dirayakan dengan Goresan Tangan

2 hours ago 2

For The Win(d): Ketika Kemenangan Dirayakan dengan Goresan Tangan

Seorang remaja perempuan terlihat asik menggoreskan krayon warna-warni pada suatu akhir pekan ketika matahari tengah terik-teriknya menyinari Jakarta. Lalu lalang orang di sekitarnya tak membuatnya kehilangan konsentrasi. Perlahan ia penuhi ruang gambar yang disediakan dengan warna-warna pastel favoritnya.

Ia adalah Indri (15), seorang remaja perempuan yang punya hobi menggambar. Ketika kami temui, ia sedang mencoba produk krayon yang dijual di salah satu booth di Jakarta Doodle Fest 2025. Ia bercerita dalam kesehariannya rutin mengkonsumsi anime dan manga.

Ketika ditanyai jika ia tertarik menjadi seorang seniman atau illustrator di masa depan, Indri hanya tertawa kecil.

“Masih belum tahu,” ujarnya, sembari tersenyum.

Indri dan kegemarannya berkreasi lewat gambar menjadi potret yang mencerminkan industri kreatif yang sedang bergeliat di Indonesia.

Saat ini, comic strip, webtoon, ilustrasi digital, hingga film animasi singkat karya kreator lokal perlahan tapi pasti memang mulai mendapatkan tempatnya di hati masyarakat. Sektor intangible yang berbasis Intellectual Property (IP) murni juga mulai unjuk gigi.

Tak heran studio lokal pun kebanjiran order, dan tempat-tempat kursus menggambar atau melukis kini kian menjamur dan diminati baik anak-anak hingga dewasa. Demikian pula dengan jurusan seperti Desain Komunikasi Visual (DKV) atau Desain Grafis yang semakin mudah ditemukan di berbagai universitas.

Apalagi dunia digital dan media sosial juga berhasil mendorong lahirnya lebih banyak kreator dan seniman Tanah Air. Bukan hanya membantu generasi muda memiliki kekayaan referensi dan kemudahan akses belajar, dunia digital juga memudahkan pendistribusian karya.

Membangun IP yang kuat dan terkoneksi dengan audiens pun menjadi semakin mungkin dan terjangkau, dan tak lagi didominasi kreator asing.

Tak heran jika belum lama ini puncak takhta film terlaris sepanjang masa Indonesia berhasil diduduki oleh film animasi Jumbo – satu hal yang tak terbayangkan bisa terjadi di tahun-tahun sebelumnya.

Atau, lihat saja Tahilalats. Semula komik strip empat panel pada 10 tahun lalu, kini Tahilalats sukses bertransformasi menjadi IP yang bukan hanya memproduksi merchandise, dan membuka kafe fisik, tapi juga kolaborasi dengan banyak brand ternama di Indonesia.

Ini menjadi bukti bahwa baik kreator maupun pasar Tanah Air sudah siap untuk memasuki masa-masa ketika IP menjadi aset bernilai ekonomis tinggi.

Di tengah-tengah kebangkitan industri kreatif ini, Tolak Angin punya rekam jejak panjang berkolaborasi lintas sektor dengan seniman maupun kreator. Karena itu, tak mengherankan kolaborasi ini juga berlanjut ke Jakarta Doodle Fest 2025.

Direktur Marketing Sido Muncul, Maria Reviani Hidayat, bercerita bahwa Tolak Angin pernah berkolaborasi dengan Tahilalats, dan tahun ini menggandeng ilustrator perempuan yang terkenal dengan karya-karyanya yang jenaka, Sherchle.

“Kami akan selalu mendukung apapun yang memajukan Indonesia, mulai dari industri kreatif, atau pariwisata,” ujar Maria, panggilan akrabnya, saat diwawancarai.

Maria mengatakan kolaborasi dengan industri kreatif ini adalah salah satu cara bagi Tolak Angin untuk menunjukkan bahwa kreativitas dibutuhkan di berbagai bidang. Kolaborasi ini, menurutnya, juga direspons positif oleh konsumen Tolak Angin.

“Untuk jamu sendiri kita selalu berusaha untuk berinovasi. Lalu dengan kolaborasi ini, masyarakat bisa melihat bahwa ‘oh iya, ternyata bisa juga kolaborasi dilakukan silang (industri)’,” ujar Maria. “Dan kalau kita kreatif, selalu ada sesuatu yang baru.”

Sebagai pre-event, Tolak Angin juga merancang berbagai kegiatan mulai dari roadshow ke kampus, menggelar kompetisi desain, hingga menggaet ilustrator untuk berkolaborasi membuat merchandise.

Keseluruhan kegiatan ini dibalut dalam campaign yang bertema #ForTheWind. Campaign ini dirancang untuk memantik kreativitas para kreator dalam mengekspresikan setiap kemenangan, baik besar maupun kecil lewat goresan karya.

Dalam sesi roadshow, Tolak Angin datang ke tiga kampus yang memang erat kaitannya dengan dunia seni dan penciptaan IP, yaitu Universitas Multimedia Nusantara yang memiliki program Desain Komunikasi Visual (DKV) terakreditasi A, Universitas Binus Bandung yang punya kemitraan strategis dengan ADGI (Asosiasi Desainer Grafis Indonesia) hingga Adobe, serta Universitas Kristen Petra Surabaya yang punya salah satu program DKV terbaik di Indonesia.

Tolak Angin pun menggandeng empat kreator untuk berbagi inspirasi dan tips dengan para mahasiswa yaitu Edwin Te (pendiri Middleform Design), Aditya Permadi (Subjekt Zero GFX Studio), Sherchle (illustrator yang pernah berkolaborasi dengan banyak brand) dan Faddy Ravydera (Co-Founder/Creative Director Suka Studio).

Di tiga kampus ini, Tolak Angin bukan hanya menggelar sesi kelas, tapi juga mengajak 300 lebih mahasiswa untuk menciptakan karya ilustrasi dengan tema #ForTheWind.

Tolak Angin kemudian memilih tiga pemenang yang karya-karyanya tidak hanya ditampilkan di booth dalam bentuk poster, tapi juga dalam bentuk merchandise kaos.

Ahmad Salaadin Wirahadikusumah alias Obi dari Universitas Binus Bandung terpilih menjadi juara satu di antara ratusan peserta lainnya. Obi bercerita ketertarikannya pada dunia ilustrasi dimulai dari keluarga dan rumah yang penuh gambar.

“Karena keluarga saya semuanya arsitektur. Kakak, mama, papa, semua arsitektur,” katanya saat berbincang di penyelenggaraan JDF 2025.

“Dan mereka semua suka gambar. Di rumah, gambar ada di mana-mana, gambar siluet, gambar gedung apalah, pokoknya gambar. Itu awal-awal inspirasinya,” ujarnya lagi.

Berawal dari sering melihat goresan tangan keluarga, Obi kini menjadi mahasiswa Desain Komunikasi Visual dan tahun ini menduduki semester tiga. Ia menyebut dalam pembuatan karya, ia lebih suka dengan gaya yang ekspresif, dan berani menembus batas.

Saat roadshow Tolak Angin di kampusnya, ia menginterpretasikan #ForTheWind dalam sosok dua pendaki yang berusaha mengibarkan bendera Merah Putih di puncak gunung (kemenangan).

Obi menyebut inspirasi utama karyanya dari siluet gunung.

“Sebenarnya ada gunung yang spesifik, Gunung Salak dekat Bogor. Dan ada pendaki-pendaki gitu, karena dingin gitu ya. Itu base desainnya,” ujar Obi.

Ia mengaku karyanya bermula dari sketsa yang ia buat selama satu jam, sesuai dengan waktu yang diberikan saat roadshow. Kemudian hasil akhir didapatkan setelah melalui proses seleksi dan kemudian revisi – sebagaimana proses yang akan ia jalani jika suatu saat terjun langsung ke industri kreatif ini.

Obi mengatakan memenangi kompetisi desain ini adalah salah satu pengalamannya paling berkesan selama menekuni dunia ilustrasi dan desain.

“Secara garis besar, saya suka kalau gambarnya dikenal. Dilihatlah pokoknya, dilihat sama orang. Baguslah atau jelek enggak apa-apa, pokoknya dilihat, itu sih,” kata Obi lagi.

Keberhasilan jadi juara pertama kompetisi desain #ForTheWind ini menjadi lecutan semangat buat Obi untuk berkarya lebih jauh lagi. Meski baru di semester 3, pria yang menggemari karya ilustrator game dari Jepang, Yuji Shinkawa, ini sudah memilih dunia yang akan ia terjuni selepas lulus dari bangku kuliah, yaitu animasi.

Ia juga optimistis industri kreatif di Indonesia dalam jalur yang menggembirakan.

“Menurut saya masih berkembang sih, masih berkembang, tapi dalam potensi yang bagus ya, dalam konteks yang bagus. Saya tertarik gimana perkembangannya, mau jalur kemana gitu, saya tertarik,” katanya.

Jalan Obi untuk mewujudkan impiannya sesungguhnya tak mudah. Di tengah-tengah kebangkitan kreator dan industri kreatif, masih ada serangkaian hal yang harus dibenahi.

Misalnya saja masalah pembajakan digital yang menyebabkan para pemegang IP kehilangan potensi pendapatan. Atau, bagaimana industri kreatif terutama yang berbasis IP masih sulit mendapatkan dukungan pembiayaan dari lembaga keuangan konvensional, karena skema penilaian aset HKI (seperti hak cipta) sebagai jaminan masih belum lumrah dikenal di Indonesia.

Selain itu, ada pula persoalan Generative Artificial Intelligence (GenAI) yang digadang-gadang mengancam para seniman dan kreator karena memiliki kemampuan menciptakan konten baik audio maupun visual.

Obi sendiri tak menolak mentah-mentah kehadiran AI. Ada sebagian penggunaannya yang ia setujui, dan ada yang ia tolak.

“Tergantung implementasi. Misalnya buat brainstorming, AI yang pakai LLM atau Large Language Model kayak Chat GPT, itu berguna buat brainstorming,” kata Obi. “Tapi saya enggak setuju kalau AI khususnya dalam image generation dipakai sebagai produk asli atau produk akhir.”

Ucapan Obi senada dengan Maria. Sebagai pihak yang memberikan ruang dan kepercayaan bagi para kreator untuk berkolaborasi, Maria tak memandang AI sebagai pengganti manusia.

Ia meyakini kreativitas adalah salah satu kelebihan yang sukar digantikan algoritma dan mesin.

“Jadi AI bisa membantu, tapi tetap kreativitasnya dari kita. Tidak perlu ditakutkan. Mungkin malah mendukung,” ucapnya. “Dan lebih banyak lagi kreasi-kreasi yang baru dengan bantuan teknologi baru.”

Maria mengatakan Sido Muncul akan terus berkolaborasi dengan para kreator baik di bidang seni, maupun di sektor wisata seperti yang telah berjalan bertahun-tahun. Ia berharap, kreator di Indonesia juga bisa membawa nama negeri ke dunia internasional.

“Seperti jamu saja khas dari bangsa kita, bangsa Indonesia, dan sekarang kami sudah mulai membawa jamu keluar dari Indonesia, jadi supaya diterima oleh orang-orang di luar,” ucap Maria.

“Sama dengan kreativitas kita. Kan sekarang kiblatnya masih dari negara lain untuk artwork seperti ini, atau IP. Tapi mungkin suatu hari Indonesia bisa jadi gudangnya kreator,” katanya lagi menutup pembicaraan.

Read Entire Article
| | | |