Jakarta, CNN Indonesia --
Musim kemarau tahun 2025 cenderung lebih basah daripada biasanya, dengan curah hujan cukup tinggi di sejumlah wilayah. Sampai kapan kemarau basah di Indonesia?
Fenomena ini terjadi ketika hujan masih turun di musim kemarau. Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) memprediksi sebagian wilayah Indonesia akan mengalami kemarau basah pada pertengahan 2025.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
BMKG memprediksi sebanyak 185 ZOM (26 persen wilayah) bakal mengalami musim kemarau dengan sifat atas normal.
"Wilayah-wilayah ini diprediksi akan menerima akumulasi curah hujan musiman yang lebih tinggi dari biasanya," demikian laporan BMKG dalam Prediksi Musim Kemarau 2025 di Indonesia.
Kemarau basah merupakan kondisi ketika hujan masih turun secara berkala pada musim kemarau atau kemarau yang bersifat di atas normal. Musim kemarau di Indonesia identik dengan cuaca panas dan minim hujan, tapi dalam fenomena ini, intensitas hujan masih tergolong tinggi meski frekuensi menurun.
"Fenomena ini diperkirakan berlangsung hingga Agustus 2025, diikuti masa transisi (pancaroba) pada September-November, dan musim hujan Desember 2025 hingga Februari 2026," kata BMKG.
Sebetulnya, apa yang menyebabkan kemarau basah?
BMKG mengungkap kemarau basah dipicu oleh dinamika atmosfer regional dan global, seperti suhu muka laut yang hangat, angin monsun aktif, serta fenomena La Nina dan Indian Ocean Dipole (IOD) negatif.
Faktor-faktor tersebut memicu hujan tetap turun meski sudah masuk musim kemarau. Menurut BMKG, La Nina sedang menuju fase netral.
La Nina merupakan fenomena pendinginan suhu laut di Pasifik tengah yang dapat meningkatkan curah hujan di Indonesia, khususnya di wilayah dengan perairan hangat.
Masa peralihan
BMKG mengungkap sebagian besar wilayah Indonesia masih menunjukkan pola peralihan dari musim kemarau ke musim hujan atau masa pancaroba.
"Pada periode ini, umumnya pola cuaca cenderung cerah pada pagi hingga menjelang siang hari, lalu berubah menjadi hujan disertai petir pada sore hingga malam hari," ujar BMKG.
Merujuk analisis klimatologi pada dasarian II Mei 2025, hanya sekitar 11 persen Zona Musim (ZOM) di wilayah Indonesia yang sudah masuk musim kemarau. Sementara, 73 persen ZOM masih berada pada musim hujan. Menurut BMKG hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar wilayah Indonesia masih berada dalam periode peralihan dari musim hujan ke musim kemarau.
Lebih lanjut, BMKG mencatat hujan dengan intensitas lebat hingga sangat lebat terjadi di sejumlah wilayah dalam sepekan terakhir dan memicu bencana hidrometeorologi.
BMKG menjelaskan hujan yang terjadi akibat mekanisme konvektivitas lokal yang sering terjadi pada masa peralihan. Penyebab lainnya adalah dinamika atmosfer berskala lebih luas, seperti aktivitas Madden-Julian Oscillation (MJO), aktifnya gelombang Rossby Ekuatorial dan Kelvin, serta gangguan tropis di barat daya Bengkulu.
Fenomena MJO saat ini terpantau aktif secara spasial di wilayah selatan Indonesia dan diprediksi konsisten berada di wilayah tersebut hingga beberapa hari mendatang. Gelombang Kelvin dan Rossby Ekuatorial juga cenderung persisten berada di sebagian wilayah Indonesia hingga sepekan ke depan.
"Fenomena-fenomena tersebut berpotensi memberikan pengaruh signifikan dalam memicu peningkatan pertumbuhan awan hujan, khususnya di bagian selatan dan tengah Indonesia," ujar BMKG.
Tidak hanya itu, pergerakan massa udara kering dari Benua Australia tetap mengindikasikan penurunan curah hujan di sebagian wilayah, seiring masuknya musim kemarau.
Kondisi ini juga memicu peningkatan kecepatan angin di wilayah Indonesia bagian selatan, serta kenaikan tinggi gelombang di Samudra Hindia Barat Daya Lampung hingga Selatan NTT, Laut Timor, Perairan utara Australia, Teluk Carpentaria, dan Laut Karang.
(dmi/dmi)