Jakarta, CNN Indonesia --
Korban investasi bodong Fikasa Group mengadu ke Komisi XI DPR RI terkait dana hasil investasi tak kunjung dikembalikan sejak 2019.
Kuasa hukum korban Fikasa Group, Saiful Anam, mengatakan korban awalnya ditawarkan investasi dengan janji keuntungan oleh PT. Wahana Bersama Nusantara (WBN), PT Tiara Global Propertindo (TGP), dan Koperasi Simpan Pinjam Alto (Kospina) yang merupakan anak perusahaan Fikasa Group.
Untuk meyakinkan korban, TGP, WBN, dan Kospina memamerkan kesuksesan Fikasa Group dengan mencantumkan bisnis yang dijalankan di berbagai sektor seperti perhotelan, infrastruktur, dan air minum. Bisnis tersebut dikelola oleh Agung Salim, Bhakti Salim, dan Dewi Salim. Melihat kesuksesan itu, korban tertarik untuk berinvestasi di Fikasa Group.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dana yang dikumpulkan dari para korban dijanjikan digunakan untuk pengembangan usaha Fiksa Group dengan bunga yang besar.
"Dana yang dikumpulkan dari korban dijanjikan keuntungan sebesar 10-15 persen per tahun. Sehingga para korban merasa tertarik karena nilai 10-15 persen itu di atas rata-rata dan merupakan bunga yang lebih besar dari pasar pada umumnya," kata Saiful dalam Rapat Dengan Pendapat Umum dengan Komisi XI di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (11/11).
Para korban kemudian diwajibkan melakukan setoran sejumlah uang kepada TGP, WBN, dan Kospina dengan skema keuntungan berupa bunga. Untuk seolah-olah memberikan perlindungan pada para korban, ketiga entitas itu memberikan Perjanjian Promissory Note yang pada intinya berisi mekanisme pembayaran bunga, keuntungan, dan hal-hal lainnya.
Namun, hingga saat ini korban tidak mendapatkan jaminan pengembalian dari TGP, WBN, dan Kospina.
"Para korban telah menggunakan berbagai macam agar Fikasa Group untuk mengembalikan dana investasi, akan tetapi sampai saat ini pengembalian tersebut hanya sebatas janji-janji belaka," kata Saiful.
Ia mengatakan para korban telah melakukan berbagai upaya, termasuk mengadu Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan kepolisian. Namun, belum ditindaklanjuti.
Sementara itu, TGP, WBN, dan Kospina kemudian menggunakan skema kepailitan sehingga bisa terhindar dari kewajibannya mengembalikan dana korban.
"Jadi seakan-akan mereka pailit sehingga sarana kepailitan ini digunakan untuk mengulur-ulur waktu. Padahal pada kenyataan kepailitan yang kemudian terjadi homologasi atau perdamaian itu tidak pernah dijalankan Fikasa Group. Jadi sarana kepailitan ini sengaja menurut kami, agar mereka, Fikasa Group, dapat melakukan pengemplangan terhadap kewajiban-kewajiban yang seharusnya dilakukan Fikasa Group," katanya.
Para korban lalu mengadu kembali ke kepolisian. Polisi akhirnya melakukan penyelidikan dan penyidikan hingga akhirnya Agung Salim dan rekan-rekannya ditetapkan sebagai terpidana. Putusan Peninjauan Kembali (PK) Mahkamah Agung (MA) juga memutuskan yang bersangkutan secara sah bersalah.
Sementara itu, barang bukti digunakan dalam perkara lain, yakni perkara tindak pidana pencucian uang (TPPU). Perkara ini awalnya di tingkat Pengadilan Negeri (PN) dan Pengadilan Tinggi (Riau) di mana diputuskan aset Fikasa Group dialihkan kepada korban.
"Namun di tingkat kasasi, Mahkamah Agung menyatakan bahwa dana yang diputus tadi yang merupakan hasil tindak pidana itu dinyatakan oleh MA bukan berasal dari tindak pidana. Ini lah yang kemudian jadi cikal bakal kenapa hak-hak korban kami rasa tidak sesuai dengan peraturan perundangan-undangan," katanya.
"TTPU yang semestinya diharapkan para korban kemudian tidak dapat diharapkan sepenuhnya karena MA kemudian membatalkan putusan yang memberikan angin segara bagi korban yang telah lama menunggu pengembalian (dana) dari Fikasa Group," katanya.
(fby/pta)
















































