Yogyakarta, CNN Indonesia --
Maestro Seni Ketoprak asal DIY, Nano Asmorodono membeberkan proses di balik lahirnya Hari Kebudayaan Nasional yang diinisiasinya hingga ditetapkan oleh Kementerian Kebudayaan tiap tanggal 17 Oktober.
Nano mengakui penentuan tanggal itu adalah inisiasinya dan diusulkan bersama delapan tokoh-pemerhati budaya lainnya. Mereka tergabung dalam Tim Garuda Sembilan Plus.
"Ada sembilan (orang dalam tim). Jogja semua, karena pusat kebudayaan kan dari Jogja. Kebetulan saya itu punya yang angen-angen (keinginan) ada hari Tari, ada Hari Wayang, Hari Keris, Hari Teater, Hari Musik kok enggak ada ya rumah besarnya Hari Kebudayaan, saya punya angen-angen itu," kata Nano saat dihubungi belum lama ini.
Dasar pemikiran Nano sendiri adalah kebudayaan sebagai jati diri bangsa sekaligus bentuk kekayaan Indonesia yang tidak dimiliki oleh negara lain.
"Nah, ini teknis (teknologi) kalah sama China, persenjataan kalah sama Amerika, kalau IT kalah sama Jepang, terus apa punyanya kita supaya enggak minder, maksud saya gitu loh bangsa kita biar tidak minder terhadap negara lain punya budaya. Itulah jati diri bangsa budaya ini," tegas Nano.
Nano menjelaskan, pihaknya kemudian merujuk pada Peraturan Pemerintah Nomor 66 Tahun 1951 yang ditandatangani oleh Presiden Sukarno dan Perdana Menteri Sukiman Wirjosandjojo pada 17 Oktober 1951 untuk menentukan tanggal Hari Kebudayaan Nasional ini.
Dalam peraturan itu, pemerintah menetapkan Lambang Negara Indonesia, yaitu Garuda Pancasila, lengkap dengan semboyan 'Bhinneka Tunggal Ika', sebagai identitas bangsa.
Semboyan ini menekankan persatuan dalam keberagaman, dan realitas geografis Indonesia yang terdiri dari ribuan pulau menggambarkan keragaman suku, budaya, dan bahasa di Tanah Air.
"Sekarang negara mana yang bisa menang ini berapa ribu pulau ini yang berapa ribu bahasa itu ada berapa ratus bahasa itu. Jogja Solo wes (sudah) beda bahasane (bahasanya). Wonosari wes bedo (sudah beda)," katanya.
Dasar ini kemudian dikaji secara akademis sejak kali pertama diinisiasi. Mereka turut menggelar Focus Group Discussion (FGD) dengan berbagai sanggar dan ikatan pelajar seni di DIY mewakili 37 provinsi se-RI. Proses pengkajian berjalan sekitar tiga bulan sebelum hasilnya diusulkan kepada Kementerian Kebudayaan pada Januari 2025 lalu.
"Jadi bukan ujuk-ujuk (tiba-tiba)," katanya.
Hari Kebudayaan Nasional pun akhirnya ditetapkan untuk diperingati setiap 17 Oktober berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kebudayaan Nomor 162/M/2025 yang diteken Menteri Kebudayaan Fadli Zon, 7 Juli 2025. Ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan.
Nano pun merasa bersyukur keragaman budaya dalam bentuk kriya, tari, busana, hingga adat istiadat yang hampir punah, bahkan etika juga kuliner kini bisa diperingati tiap tahunnya melalui Hari Kebudayaan Nasional.
Dalam hal ini, Nano juga menekankan bahwa tak ada tendensi di balik pengusulan Hari Kebudayaan Nasional ini, lebih-lebih jika ia sampai disebut 'menjilat' Pemerintahan Presiden Prabowo Subianto.
Pernyataannya ini terkait tanggal peringatan Hari Kebudayaan Nasional yang bertepatan dengan Hari Ulang Tahun (HUT) Prabowo. Bagi Nano, itu hanya kebetulan semata karena ia sebelumnya juga tak pernah tahu tanggal lahir Sang Kepala Negara.
Nano juga menegaskan bahwa dirinya bukan 'orangnya' Prabowo. Buktinya, kata dia, saat Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024 kemarin, ia memilih Ganjar Pranowo.
"Yang penting itu tadi, tidak ada kaitannya apa-apa dengan siapapun, murni ini dari seniman murni, seniman yang ora (tidak) kondang, seniman yang murni pingin punya Hari Kebudayaan karena itu pekerjaan, menjadi profesi, ini diterima ya syukur Alhamdulillah, sing wong cilik sing ngusulke udu wong gede sing ditompo, (orang kecil yang mengusulkan, bukan orang besar yang diterimanya) karena ini kemurnian dan kesucian itu bukan ada tendensi yang lainnya opo meneh (ada apa) politik," katanya.
(kum/isn)