Jakarta, CNN Indonesia --
Kejaksaan Agung (Kejagung) telah mengembalikan kerugian negara Rp13,25 triliun dari kasus korupsi persetujuan ekspor minyak sawit mentah (CPO) yang melibatkan sejumlah perusahaan, termasuk Wilmar Group.
Pengembalian kerugian negara itu disaksikan langsung oleh Presiden Prabowo Subianto. Prabowo berterima kasih atas kiprah penegak hukum berusaha mengembalikan kerugian negara.
"Selamat atas pekerjaan ini. Jangan surut, jangan malas, jangan menyerah. Berbuatlah yang terbaik untuk bangsa, negara, dan rakyat," kata Prabowo pada acara Penyerahan Uang Pengganti Kerugian Negara di Jakarta, Senin (20/10).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kasus korupsi persetujuan ekspor CPO terjadi pada periode 2021-2022. Mahkamah Agung (MA) menjatuhkan putusan inkrah terhadap lima terdakwa.
Lalu, Kejagung menetapkan tiga perusahaan sebagai tersangka pada Juni 2023. Kasus ini melibatkan PT Wilmar Group, PT Permata Hijau Group, dan PT Musim Mas Group.
Saat proses persidangan, jaksa penuntut umum (KPU) menilai lima orang terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi yang dilakukan secara bersama-sama.
JPU meminta majelis hakim menjatuhkan sanksi denda Rp1 miliar. Mereka juga menuntut pidana tambahan pembayaran utang Rp11,8 triliun ke terdakwa dari Wilmar Group.
Jaksa juga menuntut pembayaran utang Rp4,89 triliun kepada Musim Mas Group dan Rp937,5 miliar kepada Permata Hijau Group.
Meski demikian, majelis hakim Pengadilan Negeri Tindak Pidana Korupsi (PN Tipikor) PN Jakarta Pusat memvonis bebas pada terdakwa pada 19 Maret 2025. Mahkamah menyebut korporasi terbukti melakukan perbuatan yang didakwakan, tapi tidak menganggap perbuatan itu sebagai tindak pidana.
Pada 13 April 2025, Kejagung menyatakan PN Jakarta Selatan M. Arif Nuryanta menerima suap Rp60 miliar. Kejagung mengendus dugaan suap terkait vonis bebas tersebut.
Kejagung lalu menahan empat tersangka. Mereka adalah mantan Wakil Ketua PN Jakarta Pusat yang kemudian menjadi Ketua PN Jakarta Selatan Muhammad Arif Nuryanta; Pengacara Marcella Santoso; Pengacara Ariyanto Bakri; dan Panitera Muda PN Jakarta Utara Wahyu Gunawan.
Ada 3 tersangka lain selaku hakim pemberi putusan lepas, yakni Djuyamto, Agam Syarif Baharuddin, dan Ali Muhtarom.
Direktur Penyidikan Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Khusus Kejagung Abdul Qohar mengatakan ada pemufakatan jahat antara pengacara tiga korporasi. Mereka melobi Panitera Muda PN Jakpus Wahyu Gunawan untuk memberi vonis bebas.
Awalnya, mereka menawarkan uang Rp20 miliar. Namun, akhirnya tawaran dinaikkan menjadi Rp60 miliar dan majelis hakim membuat vonis bebas tersebut.
Wahyu mendistribusikan uang suap itu ke tiga hakim. Ia memberikan Rp4,5 miliar kepada Agam Syarif Baharuddin alias ASB beserta uang untuk dua hakim lainnya.
"Setelah menerima uang Rp4,5 miliar tadi, oleh ASB dimasukkan ke dalam goodie bag. Dan setelah keluar ruangan dibagi kepada 3 orang, yaitu ASB sendiri, AL (Ali Muhtarom), dan DJU (Djuyamto)," ungkap Abdul Qohar di Gedung Kejagung, Jakarta Selatan, Senin (14/4).
(dhf/agt)