Endro Priherdityo
Reza Rahadian sudah menetapkan standar yang begitu tinggi untuk film Indonesia modern.
Jakarta, CNN Indonesia --
Peribahasa "a picture is worth a thousand words" jadi gambaran paling tepat dalam menggambarkan Pangku atau On Your Lap sebagai karya debut Reza Rahadian di kursi sutradara dan penulis naskah.
Hanya dalam kurang dari dua jam, Reza membuktikan dirinya bukan hanya sebagai prodigy actor, tetapi juga sebagai sutradara baru dengan potensi yang begitu cemerlang.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Mungkin istilah Lagi-lagi Reza Rahadian akan sulit hilang dari industri film Indonesia untuk beberapa tahun atau dekade ke depan, karena memang tak banyak seorang aktor piawai juga mampu membuktikan bisa mengarahkan dan menulis film dengan standar yang kurang lebih sama.
Lewat Pangku yang terinspirasi dari pengalaman pribadi Reza Rahadian, yakni menemukan tradisi kopi pangku di Pantura Jawa dan sebagai anak laki-laki yang dibesarkan oleh ibu tunggal, film ini lebih dari sekadar surat cinta Reza untuk ibunya.
Bersama Felix K Nesi, Reza membuktikan riset mendalam sebelum melakukan penulisan memang sangat diperlukan untuk menghasilkan sebuah cerita film yang baik. Hal itu terasa terlihat dari tiap scene dan babak dalam film ini.
Bila saya bisa membandingkan dengan produk jurnalistik, Pangku adalah laporan mendalam yang bukan hanya memotret sebuah fenomena sosial, tetapi bisa menyelam hingga ke akar permasalahannya, dengan penulisan yang mengalir hingga pembaca tak terasa sampai pada titik akhir laporan.
Review Film Pangku (On Your Lap): Peribahasa "a picture is worth a thousand words" jadi gambaran paling tepat dalam menggambarkan Pangku atau On Your Lap sebagai karya debut Reza Rahadian di kursi sutradara dan penulis naskah. (dok. Gambar Gerak Film via X @gambargerakfilm )
Pangku bukan cuma membahas perjuangan seorang perempuan membesarkan anaknya secara tunggal, tetapi hingga masalah isu gender dan ekonomi berbasis gender, tradisi seni budaya dan kuliner, sosio kultural masyarakat pesisir dan marjinal, sampai masalah ketimpangan.
Namun dengan bobot yang layak menjadi bahan studi akademis tersebut, Pangku tidak tampil sebagai film yang membosankan. Bahkan satu jam 40 menit itu tak terasa berlalu. Hal inilah yang jadi titik pembeda Pangku dengan stigma film berbobot atau "festival" lainnya.
Reza dan Felix tidak menulis Pangku dengan banyak line diktat yang membosankan, atau keterangan untuk menyampaikan pesan yang mereka tulis. Semua tersaji dalam bentuk komunikasi nonverbal, yang menurut Albert Mehrabian pada 1960-an, bisa mencapai 90% dari komunikasi itu sendiri.
Mulai dari latar set dan tata rias pemain yang realistis, latar suara yang juga menggambarkan latar cerita, hingga tuntutan kepada pemain dalam menampilkan karakter lewat ekspresi tubuh yang terlihat dari dominasi Reza menggunakan medium dan close-up shoot.
Mungkin itu sebabnya Reza bisa membawa pesan begitu banyak dengan line kalimat yang sangat sedikit tapi efektif, dan dalam durasi yang terbilang singkat.
Belum lagi dari drama, humor ringan, dan twist yang digodok oleh Reza dan Felix dalam film ini. Ramuan itu membuat Pangku bisa menjadi film dengan berbagai rasa, mulai dari dokumenter sosial dan gender, drama keluarga, drama romansa, bahkan sedikit terasa telenovela.
Hanya saja, percakapan yang minimalis itu memang menjadi tantangan tersendiri bagi sebagian penonton. Ada beberapa bagian cerita yang mengecoh atau pun membuat bingung, meski kemudian terjawab pada akhirnya. Bagi mereka pemilik sumbu sabar yang pendek, mungkin ini akan bikin geregetan.
Namun bagi saya, semuanya terbayar dengan sangat apik. Bahkan Reza berhasil mengguncang kantung air mata saya dengan penutup yang memuaskan, lengkap dengan pilihan musik pengiring yang sempurna dari Iwan Fals.
Review Film Pangku (On Your Lap): Pangku bisa menjadi film dengan berbagai rasa, mulai dari dokumenter sosial dan gender, drama keluarga, drama romansa, bahkan sedikit terasa telenovela. (dok. Gambar Gerak Film via X @gambargerakfilm )
Tak perlu dipertanyakan bagaimana penampilan para pemain dalam Pangku. Mereka berhasil memangku karakter tersebut dengan sangat baik dan sempurna, seperti Christine Hakim, Fedi Nuril, Claresta Taufan, bahkan si kecil Shakeel Fauzi, dan yang tak terduga adalah Reza Chandika.
Saya sempat curiga apakah Reza menuntut para pemain di Pangku soal eksekusi karakter dan emosi yang sama seperti yang ia lakukan ketika berakting? Bila iya, maka itu menjadi sebuah transfer pengetahuan dan legasi yang sangat penting untuk keberlanjutan kualitas aktor di Indonesia.
Namun kalau pun tidak, saya yakin cara Reza mengarahkan para pemain sudah menjadi pembelajaran tersendiri yang membekas terutama untuk para aktor muda. Bahkan dalam hanyut cerita Pangku saya termenung, Reza Rahadian sudah menetapkan standar yang begitu tinggi untuk film Indonesia modern.
Selain dari cerita, eksekusi para pemain, bahkan tata rias dan skoring, standar tinggi itu juga terlihat dari sinematografi dan sajian visual film ini. Komposisi gambarnya tidak berlebihan tetapi apik. Tak banyak filter dan aspek teknis 'gegayaan' tetapi tetap estetik.
Maka dari itu, saya angkat topi untuk Gay Hian Teoh sebagai sinematografer, Ricky Lionardi sebagai music composer dan seluruh tim musik juga sound, Ahmad Fesdi Anggoro sebagai editor, seluruh tim produksi dan tata rias juga kostum. Mereka pasti sudah bekerja dengan sangat keras memenuhi standar Reza Rahadian.
Yang jelas, Pangku dan Reza Rahadian sudah memenuhi kerinduan saya akan sebuah film Indonesia yang terasa nyata, dekat, dan layak dianggap sebagai sebuah representasi, seperti salah satu fungsi dari film dalam memotret budaya masyarakatnya.
Saya hanya berharap satu hal setelah keluar dari bioskop. Jangan sampai Indonesia harus menghabiskan berdekade lagi hanya untuk menunggu Pangku-Pangku berikutnya hadir.
(end)














































