Studi: 1 dari 8 Remaja AS Minta Saran Kesehatan Mental ke AI

2 hours ago 2

Jakarta, CNN Indonesia --

Penggunaan kecerdasan buatan (artificial intelligence/AI) tak lagi sebatas membantu pekerjaan atau belajar. Studi terbaru menunjukkan, semakin banyak remaja dan dewasa muda di Amerika Serikat yang memanfaatkan chatbot AI untuk mencari saran terkait kesehatan mental.

Penelitian yang dipublikasikan dalam JAMA Network Open pada 7 November 2025 ini melibatkan 1.058 responden berusia 12 hingga 21 tahun. Hasilnya, sekitar 13 persen atau setara satu dari delapan anak dan remaja mengaku pernah menggunakan AI untuk mendapatkan nasihat kesehatan mental.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Dari kelompok tersebut, sebanyak 66 persen menggunakan chatbot setidaknya sekali dalam sebulan. Menariknya, 93 persen responden menilai saran yang diberikan AI cukup membantu dalam menghadapi persoalan yang mereka alami.

Penggunaan AI untuk konseling mental paling banyak ditemukan pada kelompok usia 18 hingga 21 tahun. Sekitar 22 persen responden di rentang usia ini mengaku pernah meminta saran kesehatan mental kepada chatbot berbasis AI.

Melansir People, para peneliti menilai tingginya angka penggunaan ini tidak lepas dari beberapa faktor, seperti biaya yang rendah, akses yang instan, serta rasa privasi yang lebih terjaga. AI dianggap menjadi alternatif bagi anak muda yang enggan atau belum siap mengakses layanan konseling konvensional.

"Selama ini banyak pembicaraan bahwa remaja menggunakan ChatGPT untuk saran kesehatan mental, tetapi sejauh pengetahuan kami, belum ada yang benar-benar mengukur seberapa umum hal ini," ujar Ateev Mehrotra, salah satu penulis studi sekaligus profesor di Brown University School of Public Health, dalam keterangan resminya.

Mehrotra mengaku terkejut dengan temuan tersebut. Menurutnya, pada akhir 2025, lebih dari satu dari 10 remaja dan dewasa muda telah menggunakan sistem AI generatif untuk mencari saran kesehatan mental.

"Saya menemukan angka ini sangat tinggi, terutama karena prevalensinya lebih besar pada kelompok dewasa muda," kata Mehrotra.

Meski demikian, para peneliti menegaskan studi ini belum dapat menjelaskan apakah saran yang dicari berkaitan dengan gangguan mental yang telah terdiagnosis. Penelitian lanjutan masih diperlukan untuk memahami dampak penggunaan AI terhadap anak muda yang memiliki kondisi kesehatan mental tertentu.

"Pertanyaan kuncinya adalah bagaimana sistem AI ini bisa benar-benar membantu, namun tetap meminimalkan potensi bahayanya," ujar Mehrotra.

Ia menambahkan, temuan ini mengubah anggapan bahwa penggunaan AI untuk kesehatan mental masih sebatas wacana masa depan.

Di sisi lain, meningkatnya penggunaan chatbot untuk isu sensitif juga memicu kekhawatiran. Sejumlah penyedia layanan AI saat ini tengah menghadapi gugatan hukum terkait tuduhan bahwa chatbot mendorong perilaku menyakiti diri pada pengguna yang sedang mengalami masalah kesehatan mental.

Sebagai respons, perusahaan teknologi mulai memperketat pengamanan sistem, termasuk dengan mendorong pengguna yang berada dalam kondisi krisis untuk menghubungi tenaga profesional, keluarga, atau layanan bantuan darurat kesehatan mental.

(tis/tis)

[Gambas:Video CNN]

Read Entire Article
| | | |