CNN Indonesia
Senin, 27 Okt 2025 11:01 WIB
Raksasa ritel AS, Target Corp, akan PHK sekitar 1.800 karyawan korporat sebagai bagian dari langkah restrukturisasi besar yang dilakukan demi memulihkan bisnis. (Foto: tangkapan layar corpotate.target.com)
Jakarta, CNN Indonesia --
Perusahaan ritel asal Amerika Serikat (AS) Target Corp berencana melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) terhadap sekitar 1.800 karyawan korporat sebagai bagian dari langkah restrukturisasi besar yang dilakukan untuk memulihkan kinerja bisnisnya.
Langkah ini menjadi PHK terbesar Target dalam hampir satu dekade terakhir, di tengah upaya perusahaan menyederhanakan operasional dan memperbaiki penurunan penjualan yang berlangsung selama bertahun-tahun.
Kebijakan tersebut diumumkan oleh CEO baru Target, Michael Fiddelke, dalam sebuah memo kepada karyawan pada Kamis (24/10).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Fiddelke, yang akan resmi menjabat pada Februari tahun depan, menyampaikan bahwa perusahaan perlu mengurangi lapisan birokrasi dan pekerjaan yang tumpang tindih agar proses pengambilan keputusan lebih cepat dan efisien.
"Terlalu banyak lapisan dan pekerjaan yang saling tumpang tindih memperlambat pengambilan keputusan, sehingga ide-ide sulit diwujudkan. Ini adalah langkah yang diperlukan untuk membangun masa depan Target," tulis Fiddelke dalam memo tersebut, melansir Reuters.
Rencana PHK 1.800 karyawan ini mencakup sekitar 8 persen dari total tenaga kerja korporat Target, termasuk penutupan 800 posisi yang saat ini masih kosong. Karyawan yang terdampak akan tetap menerima gaji dan tunjangan hingga awal Januari, serta akan mendapatkan paket pesangon.
Kebijakan ini terutama akan berdampak pada posisi manajerial, sementara pekerja di toko ritel dan rantai pasokan tidak akan terpengaruh.
Harga saham perusahaan telah turun hampir sepertiga sepanjang tahun ini, tertinggal dari para pesaingnya. Perusahaan juga menghadapi kritik publik setelah mengurangi komitmen terhadap kebijakan keberagaman, kesetaraan, dan inklusi (DEI).
Target menunjuk Michael Fiddelke, yang telah berkarier selama dua dekade di perusahaan, sebagai CEO baru pada Agustus lalu. Namun, sebagian investor menilai langkah tersebut tidak cukup kuat untuk mengatasi berbagai masalah yang membelit perusahaan, termasuk kesalahan dalam pengelolaan produk dan strategi inventori.
Selain itu, Target juga menghadapi tekanan dari tarif impor AS terhadap barang dari luar negeri, serta penurunan permintaan konsumen terhadap produk non-esensial seperti pakaian dan elektronik.
Dalam laporan keuangannya Agustus silam, perusahaan tetap mempertahankan proyeksi kinerja tahunannya setelah sempat menurunkannya pada Mei, ketika penjualan produk diskresioner melemah. Hingga kini, Target telah mengalami 11 kuartal berturut-turut dengan penjualan sebanding yang stagnan atau menurun.
(del/pta)


















































