Jakarta, CNN Indonesia --
Harga murah dan rasa kenyang masih jadi pertimbangan banyak orang dalam memilih makanan. Tapi ingat, murah tak berarti sehat.
Laporan teranyar dari Fix My Food dan UNICEF menemukan, 27 persen anak muda Indonesia mengutamakan makanan murah dan mengenyangkan, tanpa memperhatikan kandungan gizinya.
Peneliti Fix My Food Syafa Syahrani mengatakan, hal ini menunjukkan bahwa tekanan ekonomi menjadi faktor utama yang mendorong pola makan tinggi kalori namun rendah gizi, terutama di kalangan pelajar dan mahasiswa.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Mereka lebih memilih makanan cepat saji atau camilan kemasan yang bisa dibeli dengan harga terjangkau, meski nilai gizinya minim," kata Syafadalam diskusi tentang Diseminasi Hasil Studi Pemasaran Makanan Tidak Sehat yang digelar secara daring, Kamis (10/7).
Fenomena ini bukan hanya terjadi di kalangan pelajar.Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tidak Menular Kementerian Kesehatan Siti Nadia Tarmizijuga mengakui bahwa perubahan pola makan masyarakat, khususnya di kelompok ekonomi menengah ke bawah, semakin condong pada makanan instan dan olahan.
"Dari berbagai studi dan pengamatan, kita melihat bahwa keluarga dengan pendapatan ekonomi menengah ke bawah justru mengalami perubahan pola makan ke arah makanan cepat saji lebih tinggi dibanding keluarga berpendapatan tinggi," ujar Nadia.
Hal ini tak lepas dari pertimbangan waktu dan efisiensi. Di tengah kesibukan dan tekanan ekonomi, banyak keluarga memilih membeli makanan siap saji yang tinggal santap tanpa perlu repot memasak.
Kepraktisan menjadi daya tarik utama, apalagi dengan harga yang relatif lebih murah dibanding memasak dengan bahan segar.
Namun, Nadia mengingatkan bahwa pola konsumsi semacam ini menyimpan risiko besar bagi kesehatan.
"Kalau dikaitkan dengan penyakit tidak menular seperti diabetes, hipertensi, dan kolesterol, pola makan instan yang minim gizi ini menjadi salah satu pemicunya. Apalagi sekarang aktivitas fisik masyarakat juga semakin berkurang karena gaya hidup digital," paparnya.
Kebiasaan ini bukan hanya persoalan pilihan, tetapi juga cerminan tantangan struktural dalam sistem pangan dan ekonomi masyarakat. Saat harga sayur, buah, dan makanan segar terus naik, sedangkan makanan olahan tetap terjangkau, masyarakat pun cenderung mengambil jalan yang paling mudah dan murah.
"Kondisi ini memerlukan perhatian serius. Di satu sisi, perlu ada edukasi gizi dan kesadaran masyarakat akan pentingnya pola makan sehat. Di sisi lain, negara perlu mendorong akses terhadap makanan bergizi yang lebih terjangkau, terutama untuk kelompok rentan," kata dia.
"Tanpa upaya yang menyeluruh, ketimpangan akses pangan akan terus melanggengkan lingkaran konsumsi makanan tidak sehat di Indonesia," tutup Nadia.
(asr/asr)