Jakarta, CNN Indonesia --
Baru-baru ini, media sosial khususnya TikTok diramaikan oleh tren baru bertajuk 'seberapa picky eater aku'.
Dalam tren ini, pengguna memperlihatkan daftar makanan yang tak bisa mereka konsumsi, lengkap dengan alasan pribadi yang unik dan beragam. Aroma yang tidak sedap, rasa yang dinilai kurang enak, hingga menyoal bentuk makanan menjadi alasan.
Fenomena ini membuat banyak orang bertanya-tanya mengapa ada individu yang begitu selektif terhadap makanan?
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Perilaku ini dikenal sebagai picky eater. Perilaku ini tak cuma umum terjadi pada anak, tapi orang orang dewasa.
Lantas, apa sebenarnya yang menyebabkan seseorang menjadi picky eater?
Dokter spesialis anak dari Rumah Sakit Pondok Indah - Puri Indah Himawan Aulia Rahman menjelaskan bahwa kebiasaan picky eater yang dialami seseorang sangat berkaitan erat dengan proses pengenalan rasa dan jenis makanan sejak dini.
"Anak yang hanya dikenalkan dengan rasa makanan yang itu-itu saja, misalnya, rasa dari makanan instan yang cenderung monoton, akan sulit menerima rasa baru," ujar Himawan dalam acara temu media yang digelar RSPI baru-baru ini.
Akibatnya, anak menjadi sangat selektif dan menolak makanan yang tidak sesuai dengan rasa yang sudah mereka kenal. Hal ini bisa mereka alami hingga memasuki usia dewasa.
Menurut Himawan, variasi rasa sangat penting dalam proses tumbuh kembang anak. Ketika anak hanya diberi satu jenis rasa secara berulang, misalnya hanya manis atau hanya gurih dari produk instan, maka mereka akan sulit menerima rasa lain yang lebih kompleks seperti pahit dari sayuran atau asam dari buah.
Tak hanya soal rasa, faktor tekstur dan tampilan makanan juga memengaruhi. Seseorang yang tidak terbiasa dengan tekstur kasar atau aroma tertentu bisa saja langsung menolak makanan tersebut, bahkan sebelum mencobanya.
Ilustrasi. Kondisi medis seperti GERD juga bisa jadi penyebab seseorang jadi picky eater. (iStockphoto/Tharakorn)
Lebih lanjut, Himawan mengungkapkan bahwa picky eater juga bisa dipicu oleh kondisi fisik tertentu, salah satunya gangguan pencernaan seperti GERD (gastroesophageal reflux disease).
"GERD bisa membuat kerongkongan terasa nyeri atau tidak nyaman saat makan. Akibatnya, jadi enggan makan dan memilih hanya makanan tertentu yang dirasa tidak memperparah rasa sakitnya," jelasnya.
Namun, ia menegaskan bahwa tidak semua kasus picky eater berkaitan dengan masalah medis seperti GERD.
"Semua harus dieksplorasi. Banyak faktor yang perlu ditelusuri ketika seseorang mengalami picky eater," kata Himawan.
Menurutnya, ada beberapa faktor yang berkontribusi terhadap picky eater pada usia dewasa. Salah satunya adalah persepsi pribadi terhadap makanan.
"Ketika sudah dewasa, persepsi orang terhadap makanan sudah terbentuk kuat. Ada yang merasa makanan tertentu akan membuat berat badannya naik, ada juga yang terlalu terpengaruh budaya atau tren diet tertentu," ungkapnya.
Budaya makan dan pengalaman masa kecil juga berperan. Seseorang yang dibesarkan dengan pola makan terbatas atau lingkungan yang tidak mengenalkan banyak jenis makanan cenderung membawa kebiasaan tersebut hingga dewasa.
Mengatasi picky eater, baik pada anak maupun dewasa, memerlukan pendekatan yang penuh kesabaran dan eksploratif.
Bagi orang tua, penting untuk mengenalkan anak pada berbagai rasa dan jenis makanan sejak dini serta tidak hanya bergantung pada makanan instan.
"Variasi dalam warna, tekstur, dan cara penyajian juga bisa membantu menarik minat anak. Jangan memaksa anak untuk menghabiskan makanan, tetapi ajak mereka mencicipi dalam porsi kecil sambil memberi contoh," kata Himawan.
Sementara bagi orang dewasa, penting untuk menyadari bahwa pola makan yang terlalu terbatas bisa berdampak negatif pada kesehatan. Membuka diri terhadap rasa baru dan mencoba variasi makanan secara perlahan dapat menjadi langkah awal mengatasi kebiasaan picky eater.
"Picky eater memang bukan kondisi yang harus dikhawatirkan. Namun, bila kebiasaan ini mulai mengganggu asupan gizi dan kesehatan secara keseluruhan, tidak ada salahnya berkonsultasi dengan tenaga medis profesional," kata dia.
(tis/asr)