Jakarta, CNN Indonesia --
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) mengaku menemui kendala untuk memeriksa saksi terkait penyelidikan kematian aktivis HAM Munir Said Thalib. Komnas HAM tidak menyebut secara gamblang saksi dimaksud.
Pada hari ini, kematian Munir memasuki usia 21 tahun. Selama itu pula keadilan belum juga tampak.
"Saat ini, tim penyelidik masih dihadapkan pada sejumlah tantangan dalam proses menghadirkan para saksi untuk dimintai keterangannya," ujar Ketua Komnas HAM Anis Hidayah dalam keterangan persnya, Minggu (7/9).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Anis turut mengungkapkan progres penanganan penyelidikan kasus kematian Munir. Tim penyelidik, terang dia, sudah mengumpulkan bukti dokumen dari sejumlah lembaga dan instansi terkait.
Kemudian telah melakukan pemeriksaan terhadap saksi-saksi, hingga saat ini terdapat 18 orang saksi yang telah diperiksa.
Selanjutnya melakukan koordinasi dengan sejumlah instansi yang berwenang untuk kepentingan penyelidikan.
Anis menambahkan tim penyelidik juga telah melakukan review terhadap Berita Acara Pemeriksaan Saksi (BAP) dalam rangka menyusun kerangka temuan dan petunjuk lainnya.
Selain itu, tim penyelidik disebut juga rutin melakukan rapat koordinasi dengan para pihak, dan melakukan rapat rutin untuk membahas perkembangan penyelidikan.
"Tim penyelidik telah menyusun perkembangan hasil penyelidikan ke dalam laporan," ucap Anis.
Sebagai tindak lanjut dari proses penyelidikan, Anis mengungkapkan tim penyelidik Komnas HAM masih akan melakukan tahapan penyelidikan lebih lanjut.
Di antaranya menelusuri bukti dokumen lain yang relevan berkaitan dengan peristiwa pembunuhan Munir Said Thalib dan serangan terhadap Human Rights Defender (HRD).
Melakukan pemeriksaan lanjutan terhadap saksi-saksi yang terdiri dari sejumlah klasterisasi; koordinasi lanjutan dengan sejumlah instansi berwenang dalam rangka percepatan proses penyelidikan; serta koordinasi bersama Penyidik Kejaksaan Agung dan merampungkan laporan hasil penyelidikan.
Pelanggaran HAM berat
Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid menegaskan kasus kematian Munir harus dianggap sebagai pelanggaran HAM berat.
"Kenapa penting dianggap sebagai pelanggaran HAM berat? Karena dengan demikian dia tidak mengenal daluwarsa. Jadi, sampai kapan pun Komnas HAM ada, selama itu pula kita akan kejar-kejar," kata Usman dalam diskusi di Kantor Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Jakarta Pusat, Minggu (7/9).
Menurut Usman, Komnas HAM harus "dipaksa" untuk melakukan penyelidikan projustisia.
"Kalau enggak, kita tidak akan punya peluang baru lagi. Kecuali kita punya kekuatan besar untuk memaksa presiden dan DPR untuk melakukan investigasi baru oleh pihak kepolisian, mencari bukti baru, lalu membawa kembali mereka yang pernah ditahan, dipenjara, lalu dibebaskan ke pengadilan dengan bukti baru. Mungkin dengan cara itu kita bisa memastikan keadilan akan terlihat lagi," ucap dia.
Dia memandang kasus kematian Munir dapat dibawa ke Pengadilan Hak Asasi Manusia (HAM). Setidaknya ada dua indikator penting yang memungkinkan hal tersebut terjadi.
"UU HAM itu ada definisi tentang extrajudicial killing (pembunuhan di luar hukum) sebagai pelanggaran berat hak asasi manusia. Di dalam Undang-undang Pengadilan HAM, itu ada crime against humanity (kejahatan terhadap kemanusiaan)," ungkap Usma.
"Dengan dua pengertian itulah maka kasus Munir bisa dibawa ke Pengadilan HAM," tambah dia yang merupakan pengajar di Sekolah Tinggi Hukum (STH) Indonesia Jentera.
Munir Said Thalib dibunuh pada 7 September 2004. Dia mengembuskan napas terakhir di dalam pesawat Garuda Indonesia yang membawanya ke Amsterdam, Belanda.
Hasil autopsi menyimpulkan bahwa Munir tewas karena racun arsenik di tubuhnya.
Proses hukum sudah berjalan. Pollycarpus Budihari Priyanto divonis oleh majelis hakim Tjitut Sutiyarso selama 14 tahun penjara.
Namun, Mahkamah Agung (MA) mengabulkan kasasi yang diajukan Pollycarpus yang menyatakan bahwa dirinya tidak bersalah atas pembunuhan aktivis HAM tersebut.
Pollycarpus hanya divonis bersalah atas pemalsuan surat pada tahun 2008. Ia bebas pada Agustus 2018 lalu setelah mendapat remisi atau pemotongan masa tahanan sebanyak 51 bulan 80 hari.
Aktor lain yang menjalani hukuman kasus kematian Munir adalah Indra Setiawan, mantan Direktur Garuda Indonesia yang divonis satu tahun penjara karena terbukti bersalah telah memberi bantuan pembunuhan berencana terhadap Munir. Indra bebas pada April 2008 setelah menjalani masa tahanan sesuai keputusan PN Jakarta Pusat.
Selain Pollycarpus dan Indra, ada Muchdi Prawirandjono yang juga terlibat dalam kematian Munir. Namun, Muchdi Pr divonis bebas oleh majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada Desember 2008 lalu. Kejaksaan Agung tidak mengajukan peninjauan kembali atas vonis tersebut.
(ryn/isn)