Bisakah Kinerja Whoosh Diperbaiki Agar Tak Merugi?

4 hours ago 2

Jakarta, CNN Indonesia --

Proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung (KCJB) alias Whoosh kembali menjadi sorotan, terutama soal beban keuangannya.

Sejak resmi beroperasi penuh pada Oktober 2023 lalu, proyek yang dimulai di era Presiden ke-7 RI Joko Widodo (Jokowi) itu masih menyisakan persoalan pembiayaan, terutama terkait utang.

Whoosh dibangun dengan nilai total investasi US$7,2 miliar atau setara Rp116,54 triliun (asumsi kurs Rp16.186 per dolar AS). Angka tersebut termasuk pembengkakan biaya (cost overrun) sebesar US$1,21 miliar dari nilai investasi awal yang ditetapkan senilai US$6,05 miliar.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Investasi lebih murah dibandingkan dengan tawaran Jepang yang mengajukan proposal investasi US$6,2 miliar.

Dari total biaya investasi US$7,2 miliar itu, 75 persen di antaranya didapat dari pinjaman China Development Bank (CDB).

Sementara 25 persen berasal dari setoran modal pemegang saham, yaitu gabungan beberapa BUMN dari PT Pilar Sinergi BUMN Indonesia (PSBI) sebesar 60 persen dan Beijing Yawan HSR Co Ltd sebesar 40 persen.

Perusahaan pelat merah yang tergabung dalam PSBI di antaranya PT Kereta Api Indonesia (Persero) atau KAI (58,53 persen), PT Wijaya Karya (Persero) Tbk (33,36 persen), PT Jasa Marga (Persero) Tbk (7,08 persen), dan PT Perkebunan Nusantara I (1,03 persen).

Adapun bunga utang dari CDB mencapai 3,3 persen dengan dan tenor hingga 45 tahun.

Akibatnya, proyek Whoosh membebani membebani keuangan PT Kereta Api Indonesia (Persero) alias KAI. Whoosh mencatat kerugian Rp1 triliun pada semester I 2025.

Angka kerugian muncul dari kepemilikan saham mayoritas KAI di konsorsium pengelola Whoosh PT Pilar Sinergi BUMN Indonesia (PSBI).

KAI memiliki saham 58,53 persen di PSBI. Nilai kerugian bersih PSBI yang dikontribusikan ke KAI Rp951,48 miliar per Juni 2025.

Namun, Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa menegaskan pemerintah akan menggunakan dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) untuk menanggung utang proyek tersebut. Menurutnya, pembiayaan Kereta Cepat merupakan tanggung jawab Danantara yang menaungi proyek itu, bukan beban fiskal negara.

Apalagi dividen BUMN yang selama ini biasa masuk ke APBN kini sudah disetorkan ke Danantara.

"Kalau ini kan di bawah Danantara kan ya. Kalau di bawah Danantara kan mereka sudah punya manajemen sendiri, sudah punya dividen sendiri yang rata-rata setahun bisa Rp80 triliun atau lebih," ujarnya.

Lantas apa yang membuat Whoosh rugi? Apa pula yang harus dilakukan?

Analis Senior Indonesia Strategic and Economic Action Institution Ronny P Sasmita mengatakan sebenarnya wajar sekali kalau proyek kereta cepat di tahap awal mencatatkan kerugian.

Hampir semua negara yang membangun proyek serupa katanya mengalami hal yang sama. Pasalnya, investasi awal yang mencakup infrastruktur, peralatan, teknologi, dan pembebasan lahan sangat besar.

Sebagai perbandingan, sambungnya, Jepang dan Tiongkok pun butuh waktu bertahun-tahun sebelum layanan kereta cepat mereka mencapai titik impas.

Jadi rugi di awal bukan berarti gagal, tapi bagian dari fase normal dalam pembangunan proyek transportasi strategis jangka panjang.

Namun, masalah Whoosh katanya bukan soal rugi di awal.

"Tapi terletak pada jumlah utangnya yang terlalu besar, sehingga tak bisa ditutup oleh perusahaan dari hasil bisnisnya. Penyebabnya adalah karena nilai proyeknya yang dianggap terlalu besar," katanya pada CNNIndonesia.com.

Ia mengatakan masalah besar Whoosh adalah utanya karena nilai proyek yang disepakati dulu juga besar.

Selain itu, load factor atau tingkat keterisian penumpang masih belum optimal karena rute baru beroperasi penuh belum lama ini.

Integrasi antarmoda ke wilayah sekitar Whoosh pun belum sepenuhnya lancar. Tambah lagi, pola mobilitas masyarakat juga masih menyesuaikan diri dengan keberadaan Whoosh.

Ronny mengatakan biasanya proyek transportasi publik seperti kereta cepat butuh 5 sampai 10 tahun untuk mencapai titik impas. Tapi, itu pun tergantung pada strategi tarif, frekuensi perjalanan, dan keterpaduan dengan moda transportasi lain.

"Jika integrasi konektivitasnya (misalnya ke Bandung, Tegalluar, dan kawasan transit baru) bisa diperbaiki serta promosi wisata dan bisnis di jalur Whoosh meningkat, potensi kenaikan penumpang cukup besar. Jadi dalam jangka menengah, sekitar 3-5 tahun ke depan, kinerja bisa mulai membaik jika strategi bisnis dan tata kelola operasionalnya diperkuat," katanya.

Untuk memperbaiki kinerja Whoosh, ia mengatakan ada tiga cara yang bisa dilakukan pemerintah.

Pertama, integrasi transportasi dan tata ruang, supaya akses ke stasiun Whoosh mudah, nyaman, dan cepat.

Kedua, insentif kebijakan. Misalnya dukungan pajak atau subsidi sementara agar tarif kompetitif di awal.

Ketiga, strategi bisnis jangka panjang, termasuk pengembangan kawasan ekonomi dan komersial di sekitar stasiun (transit oriented development/TOD) sehingga pendapatan Whoosh tidak hanya bergantung pada tiket, tapi juga dari bisnis properti, iklan, dan kemitraan swasta.

Ronnya mengatakan jika kerugian dan beban utang Whoosh dibiarkan tanpa strategi perbaikan, risikonya akan menekan keuangan KAI dan bisa berimbas ke proyek transportasi lain. Karena itu, pemerintah dan BUMN perlu segera melakukan restrukturisasi pembiayaan.

Misalnya memperpanjang tenor pinjaman, mengonversi sebagian utang menjadi equity pemerintah, atau mencari mitra strategis baru.

"Tujuannya agar beban bunga bisa dikurangi dan arus kas operasional tetap sehat. Yang penting bukan hanya menambal kerugian jangka pendek, tapi memastikan model bisnis Whoosh berkelanjutan dan memberi nilai tambah bagi ekonomi kawasan di sekitarnya," katanya.


Read Entire Article
| | | |