Makna Gelar Haji di RI: Simbol Status Sosial hingga Cap Kolonial

16 hours ago 2

Jakarta, CNN Indonesia --

Penyematan gelar "Haji" atau "Hajjah" di depan nama seseorang usai menunaikan ibadah haji sudah lama menjadi tradisi di Indonesia.

Meski kerap dianggap sebagai simbol status sosial, tradisi ini memiliki akar historis, kultural, hingga keagamaan yang panjang dan kompleks.

Dilansir dari laman resmi Kementerian Agama (Kemenag) RI, Filolog sekaligus Staf Ahli Menteri Agama Oman Fathurahman menjelaskan bahwa tradisi ini tidak bisa dilepaskan dari konteks sejarah perjalanan haji yang berat bagi masyarakat Nusantara pada masa lalu.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Oman menganggap penyematan Gelar tersebut sah-sah saja, melihat perjuangan untuk menuju Tanah Suci tidaklah mudah dengan mengarungi lautan hingga gurun pasir yang memakan waktu sangat lama.

Karena itulah seseorang yang berhasil menunaikan ibadah haji dan kembali ke tanah air dengan selamat dianggap telah melewati ujian besar.

Perjalanan tersebut bukan sekadar ritual keagamaan, melainkan juga sebuah pencapaian spiritual dan fisik yang membawa kehormatan tersendiri.

Dari sini, masyarakat mulai menambahkan gelar "Haji" atau "Hajjah" di depan nama mereka sebagai bentuk penghormatan terhadap pencapaian ibadah tersebut. Tradisi ini kemudian berkembang luas dan menjadi bagian dari budaya Muslim Indonesia.

Sementara Antropolog UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Dadi Darmadi mengungkapkan fenomena ini bukan hanya khas Indonesia. Di berbagai wilayah Melayu Islam seperti Malaysia, Singapura, Brunei, hingga Thailand Selatan, kebiasaan serupa juga ditemui.

"Tradisi di Mesir Utara bahkan bukan hanya memberi gelar haji, tapi juga melukis rumahnya dengan gambar Ka'bah dan moda transportasi yang digunakan ke Mekkah," ujar Dadi.

Menurut Dadi, penyematan gelar haji dapat dipahami dari tiga sudut pandang: keagamaan, kultural, dan kolonial.

Secara keagamaan, haji merupakan rukun Islam yang kelima, dan pelaksanaannya membutuhkan biaya, waktu, serta syarat-syarat yang tidak mudah. Karena itu, bagi sebagian masyarakat, keberhasilan menunaikan ibadah haji merupakan kebanggaan tersendiri.

"Untuk itulah gelar Haji dianggap layak dan terus disematkan bagi mereka yang berhasil melakukannya," katanya.

Di sisi lain secara kultural, cerita-cerita heroik, emosional, dan kadang dramatis tentang perjalanan haji turut membentuk persepsi kultural yang memperkuat pentingnya ibadah ini dalam masyarakat. Banyak tokoh masyarakat yang menyandang gelar haji, menjadikan gelar ini sebagai simbol status sosial.

"Hal-hal inilah saya kira yang membuat ibadah haji semakin penting dan gelar haji di Indonesia punya nilai dan status sosial yang tinggi," jelasnya..

Sedangkan dalam perspektif masa kolonial, pemerintah kolonial Hindia Belanda saat itu takut ibadah haji akan mempengaruhi para jamaah haji dalam semangat gerakan anti-penjajahan. Kolonial Hindia lantas membuka Konsulat Jenderal pertama di Arabia pada 1872 untuk mengawasi pergerakan para jamaah, hingga mewajibkan para jamaah memakai gelar dan atribut pakaian haji agar mudah dipantau.

Namun, kata Dadi, asumsi tersebut ditentang oleh Snouck Hurgronje yang menurutnya jemaah haji saat itu tak layak ditakuti sebagai ancaman politik.

"Itu dari perspektif kolonial. Padahal menurut Snouck Hurgronje, yang meneliti haji, saat itu, jemaah haji tidak layak ditakuti sebagai anti-penjajah," tandasnya.

Meski demikian, Oman mengingatkan bahwa gelar haji seharusnya tidak menjadi simbol kesombongan atau kebanggaan semata. Yang terpenting adalah bagaimana seseorang menjaga keikhlasan dan akhlaknya pasca menunaikan ibadah tersebut.

"Salah satu ciri haji mabrur adalah menjadi orang yang ikhlas dan muhsin (berbuat baik) sepanjang masa, selalu menebar kedamaian, baik ketika maupun usai menunaikan ibadah haji," pungkas Oman.

(fra/kay/fra)

[Gambas:Video CNN]

Read Entire Article
| | | |