Jakarta, CNN Indonesia --
Stres dan kesehatan mental sering kali dianggap sepele. Padahal, tekanan psikologis yang dibiarkan berkepanjangan dapat mengacaukan kerja tubuh hingga memicu munculnya sel kanker.
Hal ini dijelaskan oleh Dokter Penyakit Dalam Konsultan Gastroenterologi dan Hepatologi Universitas Indonesia, Ari Fahrial Syam.
Menurut Ari, setiap orang sebenarnya memiliki potensi sel kanker di dalam tubuh. Sel-sel ini biasanya berada dalam kondisi 'tidur'. Namun, stres dapat menjadi pemicu yang membuat sel tersebut aktif dan berkembang.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Stres tidak boleh dianggap sederhana. Sel-sel dalam tubuh ada potensi kanker. Ketika stres, sel itu bisa keluar jadi kanker. Itu terbukti ada studi mengenai hal itu," ujar Ari dalam acara Pekan Kesadaran Kolitis Ulseratif dan Penyakit Crohn 2025 yang digelar Yayasan Gastroenterologi Indonesia bersama Takeda yang digelar di Jakarta secara daring, Selasa (9/12).
Dia mencontohkan bagaimana seseorang yang tampak sehat dan tenang, tiba-tiba didiagnosis kanker setelah menghadapi tekanan berat, seperti masalah keluarga atau pekerjaan.
"Kadang kita lihat dia baik-baik saja, tapi ketika ada masalah berat, eh kena kanker," ucapnya.
Ari menjelaskan, stres memiliki mekanisme kompleks yang melibatkan hubungan antara otak dan sistem pencernaan, yang dikenal sebagai brain-gut axis. Gangguan emosional seperti kecemasan bisa meningkatkan produksi asam lambung, menyebabkan peradangan, dan memicu masalah kesehatan lain.
"Kalau 'brain' tidak beres, bisa ganggu usus. Anxiety, misalnya, bisa menyebabkan asam lambung meningkat. Radang juga ada hubungan dengan masalah di otak," katanya.
Kondisi ini menunjukkan bahwa stres bukan hanya soal perasaan, tetapi dapat mengganggu organ-organ vital, termasuk memicu proses yang memungkinkan sel kanker berkembang.
Meski demikian, Ari juga mengingatkan bahwa stres bukan satu-satunya penyebab kanker. Ada faktor genetik, kebiasaan makan, dan gaya hidup yang juga berkontribusi menyebabkan sel kanker dalam tubuh terbangun. Hanya saja, stres menjadi salah satu faktor yang sering diabaikan, padahal memiliki peran signifikan.
"Kita bisa lihat, orang yang kanker itu ada potensi stres. Sudah kena kanker bisa stres lagi. Ada komponen karena faktor stresnya," ungkapnya.
Dalam banyak kasus, stres yang tidak terkelola juga dapat memicu kondisi psikosomatis, termasuk serangan jantung hingga stroke.
"Ketika seseorang marah-marah atau terlalu 'excited', jantung bekerja lebih cepat. Akhirnya bisa stroke. Karena sejatinya kalau kita terlalu tegang, tensi bisa naik," jelas Ari.
Karena itu, mengelola stres menjadi kunci penting untuk menjaga kesehatan mental dan fisik. Strategi pengelolaan stres seperti tidur cukup, olahraga, teknik relaksasi, hingga konsultasi dengan psikolog dapat membantu menjaga tubuh tetap seimbang.
"Jika stres diabaikan, dampaknya dapat berlapis, mulai dari gangguan pencernaan, penyakit kronis, hingga memicu aktifnya sel kanker. Mengelola stres bukan sekadar pilihan, tetapi kebutuhan penting untuk menjaga kesehatan secara menyeluruh," katanya.
(tis/tis)















































