Pengusaha Blak-blakan Manufaktur Tertekan Gara-gara Daya Beli Anjlok

2 hours ago 2

Jakarta, CNN Indonesia --

Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) mengungkapkan industri manufaktur nasional tengah menghadapi tekanan berat akibat melemahnya daya beli masyarakat, terutama di kelompok kelas menengah bawah.

Ketua Bidang Ketenagakerjaan Apindo Bob Azam menyebut pelemahan daya beli berdampak langsung pada permintaan terhadap produk manufaktur.

"Kalau kita lihat industri manufaktur ini mengalami pelemahan memang karena salah satunya ada daya beli. Pada tahun 2025 menuju ke 2026 ini kita merasakan daya beli masyarakat kelas menengah bawah sangat terdampak," ujar Bob dalam konferensi pers di Kantor Pusat Apindo, Jakarta Selatan, Senin (8/12).

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Ia menjelaskan pemerintah sebenarnya telah memberikan berbagai stimulus untuk menjaga konsumsi, termasuk paket 'Stimulus Ekonomi 8+4+5' yang menyasar kelompok menengah bawah.

Namun, di sektor manufaktur, dampak stimulus tersebut baru terasa pada produk-produk yang bersifat kebutuhan dasar atau basic needs.

"Kita bersyukur pemerintah memberikan 'Stimulus 8+4+5' itu salah satunya ikut mendorong konsumsi khususnya di kelas menengah bawah. Namun demikian di manufaktur, produk-produk manufaktur baru dirasakan untuk produk-produk yang memang benar-benar dibutuhkan oleh masyarakat untuk konsumsi dan basic needs yang diharapkan," ujarnya.

Bob juga menyoroti menyusutnya kelas menengah sebagai tantangan besar bagi pemulihan industri. Ia mencatat sejak 2019 jumlah kelas menengah turun hampir 9,5 juta orang. Kondisi ini dinilai ikut mempersempit ruang konsumsi produk manufaktur.

Untuk merespons kondisi tersebut, pemerintah memperluas berbagai stimulus pendapatan, termasuk program pemagangan.

Apindo berharap kebijakan ini mampu menambah penghasilan masyarakat sehingga daya beli dapat kembali meningkat, khususnya di kelompok menengah bawah dan menengah.

Di sisi lain, Bob menyorot soal gejala industrialisasi prematur yang tercermin dari kontribusi industri manufaktur terhadap produk domestik bruto (PDB) yang kini berada di kisaran 17,39 persen.

Meski pertumbuhannya masih di atas pertumbuhan ekonomi nasional yang sekitar 5,38 persen, tekanan struktural tetap menjadi tantangan besar.

"Oleh sebab itu, kita berharap pemerintah bisa mengkoordinasikan untuk kita berkolaborasi sama-sama agar manufaktur ini bisa menjadi lokomotif pertumbuhan ekonomi kita apalagi presiden mencanangkan pertumbuhan mencapai 8 persen," ucapnya.

Bob menambahkan indeks Purchasing Managers Index (PMI) memang mulai kembali ke zona ekspansif setelah sempat mengalami kontraksi dalam beberapa periode. Namun, penguatan tersebut dinilai belum cukup kokoh untuk mendorong akselerasi industri secara signifikan.

Selain persoalan daya beli, ia menyebut industri manufaktur juga masih dibayangi tingginya biaya ekonomi. Tantangan tersebut antara lain berasal dari perizinan, regulasi, keterbatasan bahan baku, serta persaingan dari negara-negara ASEAN 5.

Beban biaya energi, bunga pinjaman, dan logistik yang mencapai sekitar 23 persen dari PDB turut memperberat tekanan terhadap industri.

"Termasuk juga energi dan juga biaya logistik yang masih tinggi sekitar 23 persen dari PDB ini menjadi tantangan tersendiri. Inefficiency di birokrasi juga mempengaruhi di sektor manufaktur," ujar Bob.

Ia juga menyoroti perlunya suku bunga yang lebih kompetitif agar industri manufaktur nasional mampu bersaing dengan negara-negara tetangga.

Selain itu, peningkatan kualitas tenaga kerja dinilai menjadi kunci penguatan industri ke depan, termasuk melalui penerapan sistem pengupahan berbasis produktivitas untuk mendorong total factor productivity sektor manufaktur.

[Gambas:Video CNN]

(del/sfr)

Read Entire Article
| | | |