Jakarta, CNN Indonesia --
Wakil Menteri Luar Negeri (Wamenlu) Arrmanatha Christiawan Nasir menyampaikan perang dagang dan ketegangan geoekonomi global dapat memperbesar risiko resesi, inflasi, hingga pengangguran di berbagai negara.
Ia mengutip laporan Global Risk Report World Economic Forum 2025 yang menunjukkan ancaman terhadap stabilitas global tidak lagi terbatas pada konflik bersenjata semata.
"Tindakan atau kelalaian kita selama ini telah membuka kotak Pandora berbagai masalah dunia yang sangat besar. Empat di antaranya adalah konflik yang semakin tak terkendali, jurang kesenjangan yang kian melebar, krisis iklim yang kian mengganas, dan perkembangan teknologi yang semakin lepas kendali," kata Arrmanatha dalam acara The Yudhoyono Institute Panel Discussion di Ballroom Grand Sahid Jaya, Jakarta Selatan, Minggu (13/4).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ia juga menyampaikan Presiden Prabowo Subianto telah menetapkan prioritas dalam isu geopolitik aktual yang kini menjadi panduan kerja diplomasi Indonesia, termasuk lima tahun ke depan.
"Laporan tersebut menyebutkan konfrontasi geoekonomi, stagnasi, resesi, inflasi, dan pengangguran telah menjadi dimensi ancaman yang semakin nyata," lanjutnya.
Arrmanatha menyebut bahwa krisis iklim ekstrem serta krisis pangan dan air juga memperburuk ketimpangan sosial global.
Selain itu, ia menyoroti perkembangan teknologi seperti artificial intelligence (AI) menyimpan potensi positif maupun negatif, termasuk penyebaran misinformasi, disinformasi, polarisasi sosial, hingga dampaknya dalam ranah militer.
Di Asia Tenggara, ia mengutip hasil survei dari Yusuf Ishak Institute yang menunjukkan bahwa negara-negara ASEAN menganggap perubahan iklim sebagai ancaman utama, disusul oleh kondisi ekonomi dan persaingan antara kekuatan besar dunia.
Menurutnya, definisi keamanan global saat ini sudah jauh lebih luas dan tidak bisa ditangani secara individual oleh tiap negara.
"Sejarah dunia 80 tahun terakhir menunjukkan kerja sama pooling of resources dalam kerangka multilateral dapat mengatasi berbagai masalah global yang paling sulit sekalipun," ujarnya.
Dia menekankan keberhasilan target-target ambisius seperti Sustainable Development Goals (SDGs) tidak lepas dari kontribusi Indonesia.
Meski sistem multilateral menjadi landasan moral global sejak pertama kali dibentuk, Arrmanatha menyayangkan meningkatnya rivalitas dan pendekatan transaksional oleh negara-negara besar. Ia menilai hal ini menggerus komitmen terhadap institusi global yang dibentuk pasca Perang Dunia II.
"Norma kesepakatan dan hukum internasional sering digunakan seperti menu à la carte dan ditegakkan secara yang hanya menguntungkan mereka. Pelanggaran kedaulatan dan hukum internasional oleh negara yang dianggap kuat seringkali tidak mendapat sanksi, sementara negara yang tidak cukup kuat dituntut untuk sepenuhnya patuh secara mutlak," katanya.
Arrmanatha merujuk situasi di Gaza dan Ukraina sebagai contoh, serta mengkritisi kebijakan Liberation Day Presiden AS Donald Trump yang bersifat proteksionis dan melanggar aturan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO).
Ia mencatat hanya sedikit negara yang bersedia menggugat kebijakan itu ke WTO, sementara sebagian lainnya justru berusaha mendapat pengecualian tarif.
"Dengan semua perkembangan ini mungkin tidak berlebihan jika banyak pandangan bahwa dunia saat ini mengarah ke slippery slope of the League of Nations moment. Situasi di mana gagalnya institusi multilateral League of Nations sebelum Perang Dunia Kedua menjadi pelajaran penting," tegasnya.
Ia menekankan Indonesia menolak pendekatan tatanan dunia berbasis kekuasaan, dan tetap menjunjung tinggi sistem internasional berbasis aturan hukum sesuai dengan Piagam PBB dan prinsip dasar hukum internasional.
(del/pta)