Apakah Cuaca Ekstrem Bisa Berkurang di 2026? Ini Penjelasan BMKG

2 hours ago 4

Jakarta, CNN Indonesia --

Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) menyebut potensi cuaca ekstrem di Indonesia pada 2026 tidak otomatis berkurang, meskipun secara umum kondisi iklim diprediksi berada dalam kategori normal.

Deputi Bidang Klimatologi BMKG Ardhasena Sopaheluwakan mengatakan risiko bencana dan cuaca ekstrem tetap ditentukan oleh pertemuan antara intensitas cuaca dan tingkat kerentanan wilayah.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Cuaca ekstrem itu bukan hanya soal hujannya, tetapi juga soal kerentanannya. Walaupun iklim 2026 secara umum normal, dampak ekstrem tetap bisa terjadi jika bertemu dengan kerentanan yang tinggi," ujar Ardhasena dalam paparan Outlook Iklim 2026, melalui daring, Jakarta (23/12)..

Ia menjelaskan, istilah 'normal' dalam prakiraan iklim berarti kondisi cuaca masih berada dalam rentang klimatologi historis, khususnya periode 1991-2020, bukan berarti bebas dari hujan lebat, banjir, atau longsor. Pada musim hujan, curah hujan tinggi memang merupakan kondisi yang lazim terjadi.

"Normal artinya hujan sesuai dengan karakter bulanannya. Pada Januari hingga Maret, hujan deras itu justru normal, sehingga tetap perlu kewaspadaan," jelas BMKG.

BMKG menyoroti dua sisi ekstrem yang perlu diantisipasi pada 2026, yakni ekstrem basah dan ekstrem kering. Pada awal tahun, yang masih dipengaruhi La Nina lemah, potensi hujan lebat dan kejadian hidrometeorologi seperti banjir dan longsor masih cukup signifikan.

Sementara pada musim kemarau, risiko kekeringan dan kebakaran lahan juga tetap ada.

"Musim kemarau dampaknya sering kali lebih panjang dibanding musim hujan. Karena itu, air sebanyak-banyaknya perlu disimpan saat musim hujan 2026 untuk mengantisipasi periode kering," katanya.

BMKG menegaskan, perubahan iklim jangka panjang tetap menjadi faktor utama meningkatnya risiko cuaca ekstrem, meskipun El Nino atau La Nina tidak aktif.

"Yang perlu diwaspadai adalah tren kenaikan suhu dan kelembapan yang terjadi terus-menerus. Kombinasi ini dapat memperbesar dampak cuaca ekstrem terhadap manusia dan lingkungan," ungkapnya.

Untuk mengurangi risiko, BMKG kini memperkuat sistem peringatan dini berbasis dampak (impact-based forecasting) yang tidak hanya menyampaikan intensitas hujan, tetapi juga potensi risiko di wilayah terdampak.

"Ke depan, peringatan tidak lagi hanya 'hujan lebat', tetapi 'hujan lebat dengan potensi banjir atau longsor di lokasi tertentu'," kata Kepala BMKG Teuku Faisal Fathani.

BMKG mengimbau pemerintah daerah dan masyarakat untuk tidak lengah meski 2026 diproyeksikan normal, serta terus memanfaatkan informasi cuaca harian dan bulanan sebagai dasar mitigasi dan kesiapsiagaan bencana.

(wpj/dmi)

[Gambas:Video CNN]

Read Entire Article
| | | |