Jakarta, CNN Indonesia --
Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo) menilai pemerintah sebaiknya tak 'lompat terlalu jauh ke hidrogen' untuk pengembangan teknologi mobil ramah lingkungan.
Sekretaris Umum Gaikindo Kukuh Kumara menyarankan pemerintah tetap fokus pada pengembangan teknologi yang sudah berjalan seperti biofuel.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Salah satu pengembangan biofuel yang sudah dilakukan di Indonesia adalah jenis biodiesel. Mulai 1 Januari lalu pemerintah sudah menetapkan penerapan biodiesel 40 (B40) yang berarti campuran BBM subsidi solar dengan biodiesel berbasis minyak sawit sebesar 40 persen.
Selain itu di Indonesia juga sudah berjalan jenis biofuel lainnya, yakni bioetanol. Salah satu produknya adalah Pertamax Green yang merupakan campuran Pertamax dengan etanol nabati 5 persen atau E5.
"Untuk saat ini fokus yang sudah teruji, kalau tujuannya mau nol emisi, untuk mencapai itu jangan lompat terlalu jauh ke hidrogen, karena itu memerlukan teknologi yang berbeda," kata Kukuh, diberitakan Antara, Minggu (20/4).
Pernyataan Kukuh ini menanggapi perkataan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Bahlil Lahadalia tentang wacana pemberian insentif buat pengembangan mobil hidrogen untuk investor yang tertarik.
Kukuh menjelaskan pengembangan mobil hidrogen perlu dukungan sumber daya, teknologi dan infrastruktur, yang saat ini masih jauh dari kata siap.
"Perlu kajian yang menyeluruh, jangan sampai nanti kita mendorong orang (investor) masuk ke sini, tapi kemudian pasokan hidrogennya tidak ada. Itu betul-betul perlu kajian yang komprehensif," katanya.
Kukuh mengingatkan pemerintah pernah mendorong penggunaan gas alam terkompresi (Compressed Natural Gas/CNG) dan gas alam cair (Liquified Natural Gas/LNG) pada armada bus dan truk namun akhirnya berhenti karena masalah pasokan. Menurut dia hal itu bisa dijadikan pembelajaran.
Peta jalan menuju emisi karbon nol, jelas Kukuh, mencakup peningkatan penggunaan bahan bakar dari sumber organik atau biofuel seperti biodiesel B40 dan bioetanol E5.
"Kemudian, kalau kita mau menuju BEV (Battery Electric Vehicle), itu ada pilihannya. Misalnya, sebelum sampai ke elektrik, dari bahan bakar konvensional saja kita bisa kembangkan ada biofuel, ada biodiesel, ada bioetanol," kata Kukuh.
Hidrogen saingan biodiesel
Salah satu pengembang kendaraan hidrogen di dalam negeri, Toyota Motor Manufacturing Indonesia (TMMIN), pernah menjelaskan teknologi ini bersaing dengan BBM subsidi dari sisi harga.
Menurut TMMIN acuan harga hidrogen saat ini cenderung tinggi, yakni US$5 (Rp84.500, kurs Rp16.900) hingga US$10 atau Rp169 ribu per kilogram.
Indra Chandra Setiawan, Engineering Management Division TMMIN mengatakan ada kekhawatiran bahan bakar hidrogen bakal sulit bersaing dengan biodiesel yang dijual lebih murah.
Saat ini harga bahan bakar subsidi termurah Rp10 ribu per liter untuk Pertalite sementara jenis diesel, yaitu Biosolar, Rp6.800 per liter.
"Nah cuma di Indonesia ini kadang dibandingkan dengan sesuatu yang disubsidi, lebih sulit lagi ini bicara TCO gitu ya total cost of ownership. Datumnya dari mana dulu gitu, kalau datumnya dari Solar, Solar yang B40, nah itu sudah enggak bisa kemana-mana teknologi baru," ucapnya.
(fea)