Jakarta, CNN Indonesia --
Sejumlah nasabah PT Mirae Asset Sekuritas mendatangi Otoritas Jasa Keuangan (OJK) untuk menuntut perlindungan terkait kasus akses ilegal akun sekuritas dan kehilangan dana investasi.
Namun, Kuasa hukum nasabah Krisna Murti mengatakan pihak OJK menolak pertemuan para kliennya yang menjadi korban Mirae Asset secara gabungan.
"Dalam undangan yang OJK agendakan hari ini untuk klien kami, ternyata bahwa kita ditolak ya, kan kita ditolak, tidak bisa gabungan," ujar Krisna saat ditemui di Kantor OJK, Jakarta Pusat, Rabu (10/12).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ia pun menjelaskan alasan meminta pertemuan dilakukan secara gabungan karena modus dan korban mengalami hal yang sama, meski berbeda waktu.
"Supaya ada keterbukaan satu sama lainnya, ya kan, kita tidak ada yang ditutupi, kan gitu? Tidak ada dusta di antara kita. Jadi kita ingin bahwa semuanya transparansi," tambahnya.
Lebih lanjut, Krisna menjelaskan beberapa korban sudah melapor kasus yang sama kepada OJK sejak 2024, tetapi belum ada kelanjutan.
Ia pun menyampaikan dalam pertemuan tidak ada kesepakatan dengan Deputi Direktur Perlindungan Konsumen sehingga akan mengajukan surat gabungan kepada Ketua OJK.
"Nah permasalahannya, dari korban-korban ini sudah banyak yang melapor dari tahun 2024, dan tidak pernah ada undangan dari OJK. Nah karena tidak ada kesepakatan tadi dengan Pak Anwar Hasibuan sebagai Deputi Direktur Perlindungan Konsumen, ya maka hari ini kami akan melakukan surat gabungan kepada Ketua OJK. Biar Ketua OJK yang akan mengatur," jelas Krisna.
Selain membantu korban untuk mendapatkan perlindungan konsumen, Krisna mengatakan pihaknya juga meminta kepada OJK untuk terbuka terkait pengawasan sistem sekuritas Mirae Asset.
"Di dalam cyber security yang diaudit, ya kan, oleh pengawas seperti apa? Kita ingin tanyakan. Kenapa kalau sudah diaudit dan dinyatakan sistem sekuritas Mirae itu baik, kenapa korban terus-terusan ada? Dari tahun sekian ada. Nah hasil auditnya tuh apa yang dihasilkan kalau itu adalah baik?" tegasnya.
Dalam kesempatan yang sama, seorang nasabah Mirae Asset bernama Leny yang sudah menjadi korban sejak 2024 bercerita telah mengisi laporan ke Aplikasi Portal Perlindungan (APPK) OJK. Kendati, hingga kini, ia mengaku belum mendengar tindak lanjut OJK atas laporannya itu.
"Sampai sekarang sudah ngisi aplikasi APPK (Aplikasi Portal Perlindungan Konsumen). Saya enggak tahu itu fungsinya aplikasi APPK itu buat apa. Karena apa? Karena pada saat Pak Irman melapor, mereka panggil, kami-kami ini yang sudah dari 2024 enggak pernah ditanggapi," ujar Leny.
"Ditanggapinya hanya melalui aplikasi. Hanya ada pilihannya untuk mediasi atau pengadilan. Enggak ada tuh namanya yang untuk perlindungan konsumen itu, kami dijembatani ke sana tuh enggak ada pilihannya," tambahnya.
Kemudian, tim kuasa hukum Krisna Murti Alloys Ferdinand pun menjelaskan alasan meminta pertemuan korban dengan OJK dilakukan secara gabungan.
Alloys mengatakan hal tersebut dilakukan untuk menuntut tindakan nyata dari OJK terkait kasus terkait.
"Ada enggak tindakan nyata dari OJK berkaitan dengan adanya pelanggaran? Mereka sifatnya hanya sebagai ADR, Alternative Dispute Resolution. Jadi hanya win-win solution gitu. Tidak ada tindakan nyata. Nah, karena tidak ada tindakan nyata, maka kami minta untuk gabungan," tegas Alloys.
Ia pun menjelaskan total nilai kerugian dari seluruh korban nasabah Mirae Asset hingga saat ini adalah Rp200 miliar.
"Kemarin kami sudah menerima kuasa yang total nilai kerugiannya itu sudah Rp200 miliar gitu lho. Dan itu dari tahun 2021 ternyata itu. Dan belum selesai sampai hari ini," jelasnya.
Dihubungi terpisah, manajemen Mirae Asset mengapresiasi upaya mediasi yang dilakukan oleh OJK.
Namun, pihak perusahaan enggan berkomentar terkait klaim kerugian nasabah.
"Angka yang beredar bersifat spekulatif, dan belum dapat dibuktikan secara hukum," ujar manajemen.
Kendati, perusahaan menegaskan tetap taat mengikuti proses, bekerja sama serta berkoordinasi dengan OJK dan pihak berwenang lainnya.
"Platform dan layanan Mirae Asset sampai saat ini aman serta berjalan seperti biasa," terang perusahaan.
Sebelumnya, seorang nasabah Mirae Asset bernama Irman (70) melaporkan kasus dugaan akses ilegal akun sekuritas ke Bareskrim Polri setelah kehilangan dana investasi senilai Rp71 miliar di akun Rekening Dana Nasabah (RDN).
Laporan itu terdaftar dengan nomor LP/B/583/XI/2025/SPKT/Bareskrim Polri tertanggal 28 November 2025.
"Hari ini kita melaporkan dugaan tindak pidana terhadap Mirae Sekuritas dengan adanya bahwa klien kami kehilangan uang di situ dengan jumlah Rp71 miliar," ujar kuasa hukum korban, Krisna Murti, di gedung Bareskrim Polri, Jakarta Selatan, Jumat (28/11), dikutip detikcom.
Sehari setelahnya, tepatnya pada 7 Oktober, korban langsung melaporkan dugaan aktivitas ilegal itu kepada Mirae Asset. Pihak sekuritas juga sudah mengakui aktivitas transaksi itu tidak dilakukan oleh korban.
"Dari pihak Mirae Sekuritas datang ke tempat Pak Irman. Lalu mereka di situ bilang, mengakui bahwa transaksi tanggal 6 Oktober 2025 tidak dilakukan oleh nasabah sendiri," beber Krisna.
Lalu hasil pemeriksaan sementara tidak menunjukkan adanya peretasan server dan akses akun nasabah. Karenanya, terindikasi adanya akses ilegal terhadap akun nasabah oleh pihak yang mengetahui informasi login nasabah.
Krisna menjelaskan sebelumnya korban memiliki portofolio saham di BBCA, BBRI, Telkom, BMRI, hingga CDIA di akun sekuritas tersebut. Tetapi, saham itu hilang, diganti dengan aset yang sama sekali tak diketahui korban.
"Saham-saham itu ada saham film, kemudian ada NIYZ. Jadi sekali lagi bahwa klien kami telah kehilangan uangnya," ucapnya.
Bursa Efek Indonesia (BEI) juga telah menerima laporan dugaan hilangnya dana nasabah senilai Rp71 miliar tersebut. Laporan ini muncul setelah nasabah Mirae itu melaporkan dugaan penyalahgunaan asetnya ke Bareskrim.
"Kami sudah menerima laporan terkait penyalahgunaan aset nasabah di rekening efek nasabah dari AB Mirae," ujar Direktur Pengawasan Transaksi dan Kepatuhan BEI Kristian Manulang dalam keterangan tertulis, Kamis (4/12).
BEI sendiri telah melakukan analisis awal terkait kasus ini, termasuk memeriksa transaksi dan mutasi efek nasabah. Koordinasi dilakukan baik di tingkat Self-Regulatory Organization (SRO) maupun dengan Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
(fln/sfr)
















































