Jakarta, CNN Indonesia --
Indonesia memasuki fase penting dalam pembangunan energi. Dalam dua tahun terakhir, perluasan akses listrik menunjukkan kemajuan signifikan, menjangkau wilayah-wilayah yang sebelumnya gelap gulita dan menghadirkan perubahan nyata bagi jutaan warga.
Pemerintah mencatat peningkatan tajam pada distribusi listrik ke rumah tangga. Pada 2024, lebih dari 155 ribu rumah mendapatkan sambungan baru melalui program Bantuan Pasang Baru Listrik (BPBL).
Angka ini meningkat menjadi 215 ribu rumah tangga pada 2025. Upaya tersebut diperkuat oleh Program Listrik Desa (Lisdes) 2025-2029, yang menargetkan pembangunan jaringan listrik di lebih dari 10 ribu lokasi untuk menghadirkan 1,28 juta pelanggan baru.
Di wilayah timur Indonesia-Maluku, Papua, dan Nusa Tenggara-aliran listrik kini mulai menggerakkan roda ekonomi lokal. Cold storage bagi nelayan, aktivitas pedagang di malam hari, hingga pengurangan penggunaan genset menjadi bukti bahwa elektrifikasi membawa dampak langsung bagi keseharian masyarakat.
Fondasi Transisi Energi Bersih
Dosen Sosiologi Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (UNUSIA), Muhammad Nurun Najib, menilai capaian elektrifikasi ini merupakan tonggak penting bagi ketahanan energi nasional.
"Keseluruhan hasil kerja tersebut menjadi penanda keseriusan negara memperkuat ketahanan energi sekaligus menyiapkan fondasi transisi menuju energi bersih," ujarnya, Senin (17/11).
Selain program elektrifikasi, proyek-proyek energi besar turut berjalan. Hilirisasi mineral dan investasi energi yang nilainya mencapai ratusan triliun rupiah menunjukkan dorongan besar menjadikan sektor energi sebagai motor pertumbuhan ekonomi nasional.
Namun, menurut Najib, kemajuan ini juga mengandung tantangan struktural yang perlu dikelola dengan lebih matang-terutama terkait keadilan energi, pemerataan manfaat, dan partisipasi publik.
Komitmen Pemerintah: 5.700 Desa Belum Teraliri Listrik
Dalam Sarasehan 100 Ekonom Indonesia 2025, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia kembali menegaskan komitmen pemerintah memperluas akses listrik hingga ke pelosok.
Ia menyebut, meski Indonesia telah merdeka selama delapan dekade, masih terdapat 5.700 desa yang belum menikmati listrik.
"Saya tahu hidup tanpa listrik pakai pelita. Kami targetkan 2029-2030 Insya Allah seluruh Indonesia sudah terlistriki," ujarnya.
Program BPBL menjadi salah satu instrumen penting untuk mencapai target tersebut. Bantuan ini menyasar rumah tangga miskin yang terdaftar dalam Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS), terutama di wilayah tertinggal, terluar, dan terdepan (3T).
Dari Genset Bising ke Rumah yang Hidup
Salah satu penerima manfaat BPBL adalah Ruslan (52), warga Dusun Sungai Putih, Desa Bandar Jaya, Kabupaten Musi Banyuasin, Sumatera Selatan. Ia menerima pemasangan listrik gratis pada 16 Juni 2025.
Sebelumnya, Ruslan hanya mengandalkan genset kecil yang dinyalakan sesekali. Selain bahan bakarnya mahal dan suaranya bising, dayanya pun terbatas-hanya cukup menyalakan satu atau dua lampu.
Kini, lampu menyala setiap malam tanpa rasa khawatir. Bagi Ruslan, listrik bukan sekadar penerangan; listrik membuka waktu belajar lebih panjang bagi anak-anak, memberi ruang istrinya untuk menjahit pesanan hingga malam, dan membuat rumah terasa lebih hidup.
Ketimpangan dan Sentralisasi Pengelolaan Energi
Meski capaian elektrifikasi meningkat, sejumlah persoalan mendasar masih membayangi. Hilirisasi mineral dan pembangunan infrastruktur energi sering kali berjalan dalam model pengelolaan terpusat, di mana negara dan korporasi besar memegang kendali utama.
Najib menilai pola pembangunan teknokratik seperti ini berpotensi menciptakan ketimpangan baru.
"Transisi energi masih dijalankan melalui model yang sangat terpusat. Masyarakat sering kali menjadi penerima manfaat pasif, bukan bagian dari proses pengambilan keputusan," jelasnya.
Ia menambahkan, keberhasilan makro tidak selalu langsung terasa di tingkat keluarga dan komunitas, terutama di daerah penghasil energi atau wilayah terpencil.
Dari Infrastruktur Menuju Partisipasi
Najib menegaskan bahwa keadilan energi harus menjadi prinsip utama dalam pembangunan energi ke depan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kebijakan selama ini terlalu fokus pada indikator teknis seperti jumlah pelanggan atau kapasitas jaringan, sementara dimensi sosial-siapa yang menguasai dan menikmati manfaat energi-kurang mendapatkan perhatian.
Ia menekankan pentingnya memperluas ruang partisipasi masyarakat melalui model-model seperti:
• Energi berbasis komunitas,
• Koperasi listrik desa,
• BUMDes energi, atau skema kepemilikan bersama.
Dengan pendekatan ini, manfaat ekonomi dari proyek energi tidak berhenti di lingkar elite atau korporasi besar, melainkan berputar di tingkat lokal.
Demokratisasi Energi sebagai Arah Baru
Menurut Najib, demokratisasi energi adalah langkah korektif yang perlu segera ditempuh. Model ini memandang energi bukan hanya soal pasokan, tetapi juga distribusi manfaat dan pembagian kendali.
"Jika dimensi sosial dan partisipatif dijadikan tolok ukur keberhasilan, transisi energi dapat menjadi instrumen redistribusi kesejahteraan yang nyata," ujarnya.
Ia menyimpulkan bahwa tantangan utama pembangunan energi di Indonesia berada pada dua hal: dominasi pendekatan teknokratik, dan lemahnya inovasi sosial yang menghubungkan infrastruktur energi dengan kebutuhan masyarakat.
Menuju Energi yang Adil dan Inklusif
Dengan rasio elektrifikasi yang hampir sempurna dan banyaknya proyek energi baru yang sedang berjalan, Indonesia menunjukkan kemajuan signifikan. Namun, menurut Najib, pembangunan energi harus melampaui capaian teknis.
"Elektrifikasi akan kehilangan makna jika hanya berhenti pada perluasan infrastruktur tanpa redistribusi manfaat dan partisipasi masyarakat," tegasnya.
Ia menambahkan, arah kebijakan energi ke depan harus memberi ruang lebih besar bagi warga sebagai pemilik dan pengambil keputusan.
Pemerataan akses listrik menjadi simbol penting kemandirian nasional. Namun agar cahaya yang menyala di seluruh negeri benar-benar mampu memperkuat daya sosial masyarakat, pembangunan energi wajib dikawal dengan prinsip keadilan, partisipasi, dan pemberdayaan komunitas.
(inh)















































