Jakarta, CNN Indonesia --
Sebanyak 153 warga Palestina dideportasi secara misterius ke Afrika Selatan (Afsel) pada Kamis (13/11) lalu, dan sempat terjebak selama 12 jam di pesawat sebelum diizinkan turun.
Polisi perbatasan Afsel sempat menahan para penumpang di pesawat karena tak punya stempel keberangkatan dari Israel di paspor mereka.
"[Para penumpang] tak memiliki stempel keberangkatan yang lazim di paspor mereka," demikian menurut Otoritas Manajemen Perbatasan Afrika Selatan (BMA) pada Kamis malam, dikutip Al Jazeera.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Para penumpang juga tak menunjukkan berapa lama mereka berniat tinggal di Afrika Selatan atau memperlihatkan alamat akomodasi.
Ratusan warga Palestina itu awalnya ditolak masuk setelah gagal melalui tes imigrasi dan mengingat tak ada satu pun penumpang yang menyatakan niat untuk mengajukan suaka.
Namun, akhirnya Kementerian Dalam Negeri Afsel mengizinkan penumpang meninggalkan pesawat usai organisasi kemanusiaan Gift of the Givers siap mengakomodasi mereka.
"Mengingat warga Palestina memenuhi syarat untuk perjalanan bebas visa selama 90 hari ke Afrika Selatan, mereka telah diproses seperti biasa dan diwajibkan untuk mematuhi semua persyaratan masuk," lanjut MBA.
Pesawat tersebut mendarat pada Kamis (13/11) sekitar pukul 08.00 di Bandara Internasional OR Tambo. Maskapai itu mengangkut 153 warga Palestina menggunakan pesawat carter.
Dari total penumpang 130 warga Palestina masuk ke Afsel, sementara sisanya ditransfer ke negara lain. Menurut laporan AFP pesawat itu dioperasikan maskapai Afrika Selatan, Global Airways, dan transit di Nairobi, Kenya.
Menanggapi kejadian ini, Presiden Afrika Selatan Cyril Ramaphosa menginstruksikan pihak berwenang untuk melakukan investigasi.
"Mereka adalah orang-orang dari Gaza yang entah bagaimana secara misterius dinaikkan ke pesawat yang melewati Nairobi dan tiba di sini," kata Ramaphosa.
Dia lalu berujar, "Kita tentu perlu melihat asal-usul mereka, di mana mereka bermula, alasan mereka dibawa ke sini karena mereka tak punya dokumentasi apa pun."
Insiden semacam ini rupanya bukan pertama kali. Pada 28 Oktober lalu pesawat yang mengangkut 176 warga Palestina mendarat di Johannesburg. Namun, beberapa penumpang dipindah ke negara lain.
"Keluarga dari kelompok pertama mengatakan kepada kami bahwa anggota keluarga yang lain akan segera datang memakai pesawat kedua, dan tak ada satupun yang tahu soal pesawat tersebut," kata founder Gift of the Givers, Imtiaz Sooliman.
"Orang-orang itu benar-benar terpukul setelah dua tahun genosida," imbuh dia.
Berdasarkan penilaian dari mereka yang tiba di Afrika Selatan, Sooliman mengatakan Israel tampaknya mengusir orang-orang dari Gaza. Israel, lanjut dia, mengirim warga Gaza menggunakan pesawat carteran tanpa membubuhkan cap di paspor mereka.
"Israel sengaja tak memberi cap di paspor orang-orang malang ini untuk memperparah penderitaan mereka di negara asing," kata Sooliman.
Sejauh ini, tak ada penjelasan resmi soal warga Palestina diduga dideportasi ke Afrika Selatan. Namun, terdapat sejumlah klu soal awal mula proses ini.
Bagaimana warga Gaza diusir dari tanah kelahirannya?
Di media sosial, ada tautan yang diiklankan di berbagai platform bernama Al-Majd Europe. Dalam sebuah survei, warga Palestina mengisi nama mereka, tempat mereka bekerja, dan destinasi merea.
Menurut laporan, mereka menerima telepon dari salah satu orang yang bekerja untuk Al-Majd Eropa. Warga Palestina itu kemudian diminta pergi ke halte bus di Kota Gaza. Bus tersebut lalu menuju persimpangan Karem Abu Salem.
Kedutaan Besar Palestina di Afrika Selatan juga buka suara soal perjalanan ini.
"[Perjalanan tersebut] diatur organisasi yang tak terdaftar dan menyesatkan yang mengeksploitasi kondisi kemanusiaan yang tragis dari rakyat kami di Gaza," demikian menurut Kedubes Palestina.
"[Mereka] menipu keluarga, mengumpulkan uang dari mereka, dan memfasilitasi perjalanan mereka dengan cara yang tidak teratur dan tidak bertanggung jawab."
Salah satu media Israel, Haaretz, turut memberitakan soal pengusiran warga Gaza dari tanah airnya. Menurut media itu, ada organisasi Israel-Estonia yang memberi US$2.000 ke warga Palestina agar bersedia naik pesawat carter.
Pesawat itu diterbangkan ke berbagai negara seperti Indonesia, Malaysia, dan Afrika Selatan.
Organisasi tersebut didirikan di Jerman dan punya kantor di Yerusalem Timur. Operasi mereka juga didukung firma konsultan yang terdaftar di Estonia.
Haaretz mengetahui bahwa Direktorat Migrasi Sukarela di Kementerian Pertahanan merujuk organisasi tersebut ke Layanan Migrasi Israel untuk mengoordinasikan keberangkatan para penduduk Gaza.
CNNIndonesia.com telah menghubungi juru bicara Kementerian Luar Negeri Yvonne Mewengkang untuk memberi komentar soal berita ini namun belum merespons.
(isa/dna)

















































