Gen-Z di China Ramai-ramai Tolak Wajib Militer, Ada Apa?

13 hours ago 2

CNN Indonesia

Kamis, 17 Jul 2025 09:26 WIB

Generasi muda di China ramai-ramai menolak ikut wajib militer hingga berujung indoktrinasi dini. Ilustrasi bendera China. Foto: istockphoto/blackred

Jakarta, CNN Indonesia --

Generasi Z atau Gen Z di China ramai-ramai mulai memperlihatkan "perlawanan" terhadap militer negaranya, salah satunya menolak ikut serta dalam program wajib militer. 

China berencana menggelar parade militer akbar pada 3 September mendatang, yang dirancang untuk memperlihatkan kekuatan militer Negeri Tirai Bambu ke dunia, terutama kepada Taiwan. Namun belakangan keretakan mulai terlihat di balik barisan dan derap langkah prajurit China.

Semangat perlawanan yang kian tumbuh di kalangan generasi muda ini tak hanya menguji kesiapan angkatan bersenjata, tetapi juga menggoyahkan cengkeraman ideologis Partai Komunis China (PKC)

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Pengumuman parade ini, yang disampaikan Kantor Informasi Dewan Negara pada 28 Juni, awalnya dimaksudkan sebagai penegasan akan meningkatnya kekuatan militer China. Namun hanya beberapa hari setelahnya, citra yang dibangun dengan cermat itu terguncang oleh satu insiden perlawanan.

Awal Juli, media pemerintah melaporkan bahwa seorang pemuda dari Guilin dikenai sanksi berat karena menolak menjalani wajib militer setelah mendaftar pada Maret 2025.

Mahasiswa kelahiran 2004 yang hampir lulus itu dilaporkan kesulitan beradaptasi dengan kerasnya kehidupan militer dan beberapa kali mengajukan permohonan mundur. Alih-alih diberi jalan keluar, otoritas justru menjatuhkan sanksi berat: dikeluarkan dari universitas, dibatasi akses pekerjaan, keuangan, hingga larangan ke luar negeri.

Ia juga dikenai denda lebih dari ¥37.000 (sekitar Rp85 juta), sebagai sinyal bahwa negara tidak mentoleransi penolakan.

Namun, kasus ini bukanlah satu-satunya. Seorang mantan pejabat legislatif yang kini hidup dalam pengasingan mengklaim ada lebih dari 200 kasus serupa hanya di Mongolia Dalam. Provinsi lain seperti Shandong, Hubei, dan Fujian juga dilaporkan mengalami gelombang penolakan serupa.

Para analis menyebut tren ini sebagai cerminan disonansi yang mendalam: benturan antara tuntutan militer yang keras dengan generasi muda yang tumbuh dalam kenyamanan digital, dan yang kian skeptis terhadap legitimasi negara.

Pergeseran ideologis

Hal yang membuat para pemuda ini enggan bukan hanya disiplin militer yang ketat. Informasi dari para pelapor internal mengungkap praktik korupsi di tubuh Tentara Pembebasan Rakyat (PLA): laporan palsu, jual beli posisi, dan jejaring kekuasaan yang kebal hukum.

Bagi anak muda yang awalnya terpanggil oleh semangat patriotisme, kenyataan ini menyakitkan: militer bukan lagi tempat kehormatan, melainkan institusi yang keropos oleh nepotisme dan keserakahan.

Kekecewaan juga semakin besar saat mereka yang telah menyelesaikan masa dinas kembali ke masyarakat. Banyak yang hidup dalam pengangguran, terabaikan, dan merasa dikhianati.

Upaya hukum untuk menuntut hak-hak dasar pun sering berakhir tanpa hasil atau malah mendapat balasan. Citra "mangkuk nasi besi" dari profesi tentara kini berubah menjadi kisah peringatan.

Lanjut ke sebelah...


Read Entire Article
| | | |