Kisah Herlambang, Kabur dari Sindikat Kamboja dan Masuk Daftar Buruan

2 hours ago 2

Yogyakarta, CNN Indonesia --

Herlambang, warga Sindutan, Temon, Kulon Progo, Yogyakarta seolah masih tak percaya, niatnya memperbaiki perekonomian keluarga dengan menjadi pekerja migran malah berujung nahas bagi dirinya.

Herlambang adalah korban dugaan praktik tindak pidana perdagangan orang (TPPO) yang dijebak bekerja dalam komplotan penipu (scammer) di Kamboja. Padahal, niat awalnya adalah terbang ke Thailand dan bekerja sebagai penjaga toko di sana.

Mulanya, Herlambang pada Agustus 2024 menerima tawaran kerja dari sebuah Lembaga Pelatihan Kerja (LPK) di Surabaya, Jawa Timur dengan biaya Rp25 juta bersama sembilan orang lainnya. Ia awalnya ditawari bekerja sebagai operator pabrik di Taiwan, sebelum berganti penawarannya menjadi penjaga toko di Thailand.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Herlambang mengiyakan. Tak sampai sepekan, ia sudah dibelikan tiket. Dari Cengkareng ke Bandara Soetta, lalu transit enam jam di Malaysia sebelum dikirim ke Kamboja pada 3 September 2024. Hanya saja, dokumen yang ia bawa saat itu bukan visa kerja, melainkan paspor kunjungan.

Bagaimanapun, Herlambang terlambat menyadari karena setibanya di Kamboja sudah langsung dipaksa bekerja sebagai scammer. Pemuda 23 tahun itu bersama rekan-rekan sesama WNI lainnya juga harus kerja dalam tekanan dan dihantui bayang-bayang perlakuan tak manusiawi.

"Perlakuan itu paling disetrum sama dipukul, tergantung kita melakukan kesalahannya apa. Tapi kalau untuk minimal satu kesalahan itu 10 kali (hukuman)," kata Herlambang usai beraudiensi di kantor bupati Kulon Progo, DIY, Senin (17/11).

Herlambang mengaku bisa dihajar dua sampai tiga kali dalam kerja sepekan. Tapi, ia masih lebih beruntung dari korban-korban lain yang sampai harus disetrum.

Mau kabur pun cukup riskan, karena penjagaan di gedung tempatnya bekerja sangat ketat dan ada banyak kamera pengawas alias CCTV terpasang di sana-sini.

Setelah sekian lama bertahan, peluang kabur itu muncul seiring pemindahan pekerja ke gedung baru di perbatasan antara Kamboja-Thailand.

"Itu ada space yang di mana lokasi belakang kantor itu langsung ketemu danau. Lokasi kantornya itu juga tidak ditutup rapat, jadi bisa dilangkahi, karena ada lokasi yang tinggal loncat, terus keluar ke jalan," imbuhnya.

Herlambang dan teman-temannya total berjumlah sepuluh orang akhirnya bisa kabur awal November 2025. Itu pun mereka tak bisa langsung bernapas lega. Rasa takut dan waspada penuh karena sudah tentu masuk dalam daftar hitam (blacklist) pimpinan sindikat.

"Kita sudah masuk ke dalam blacklist yang dibuat oleh bos, terus juga ada anak buahnya yang mencari," ungkapnya.

Kendati, pelarian Herlambang cs membuahkan hasil. Enam dari 10 WNI, termasuk dirinya berhasil dipulangkan. Empat sisanya masih menanti proses deportasi di Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di Phnom Penh.

Herlambang kini memutuskan untuk sementara waktu mencari kerja di Kulon Progo. Dia harap, pengalamannya ini jadi pembelajaran dan tak ada lagi WNI yang harus mengalami nasib serupa dengannya.

"Kalau semisal ingin mencari kerja di luar negeri, ya yang pertama itu harus jelas dulu dari PT ataupun lembaganya. Dicari tahu dulu. Lalu jangan tergiur dengan gaji-gaji tinggi dengan persyaratan yang mudah," pesannya.

Duit patungan untuk Herlambang

Lurah Sindutan, Sumarwanto sementara itu menyebut kepulangan Herlambang tak lepas dari inisiatif warganya tersebut yang melapor kepada perangkat desa. Laporan ini lantas diteruskan kepada Pemkab Kulon Progo yang bergegas menghubungi KBRI di Phnom Penh.

"Kami melangkah untuk bagaimana caranya untuk memulangkan warga kami yang ada di Kamboja. Setelah mendapat petunjuk dari Bupati, kami diarahkan untuk bisa memulangkan warganya dengan memakai dana APBKal (Anggaran Kalurahan)," terangnya.

Di balik kepulangan Herlambang ini, ternyata juga ada kontribusi perangkat kelurahan dan sesama warga Sindutan. Musababnya, waktu mendesak untuk mengurus Exit Permit Only (EPO) atau izin keluar dari Kamboja pada tanggal 5 November, sementara Pemkab Kulon Progo baru mendengar kabar soal Herlambang ini pada tanggal 3 November.

Waktu yang sangat mepet itu tak cukup buat mengakses dan mencairkan APBKal. Alhasil, muncul solusi memanfaatkan dana kas kelurahan plus iuran warga untuk membantu mengurus persyaratan pemulangan Herlambang.

"Kita koordinasi langsung dengan bupati, kemudian bupati menyarankan, kami langkah cepat untuk mengeluarkan uang. Tapi untuk mengeluarkan APBKal dengan jangka waktu yang dua hari itu nggak mungkin to. Jadi kita talangi dulu supaya warga kami bisa pulang dulu," terangnya.

Bupati Kulon Progo, Agung Setyawan sementara itu mengaku bersyukur atas kepulangan Herlambang. Ia turut mengapresiasi langkah cepat perangkat kelurahan yang cepat melaporkan kejadian ini sehingga bisa lekas ditangani.

"Mas Herlambang ini bisa kita selamatkan karena gerak cepat dari pelaporan kelurahan kepada Pemda. Pemda berkoordinasi dengan Kedutaan Besar di Phnom Penh untuk memberikan satu exit permit dan memberikan satu bukti legalitas hilangnya paspor," ujarnya.

Agung menyebut kasus ini adalah contoh nyata dari TPPO. Maka dari itu ia mengimbau kepada seluruh masyarakat Kulon Progo agar lebih berhati-hati dalam memilih pekerjaan di luar negeri.

(kum/dal)

[Gambas:Video CNN]

Read Entire Article
| | | |