Otomotif Thailand Diambang Rugi Besar Imbas Tarif Donald Trump

16 hours ago 1

Jakarta, CNN Indonesia --

Kebijakan tarif impor yang diberlakukan Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump bakal memukul telak sektor-sektor penting di Thailand dengan total potensi kerugian mencapai 800 miliar baht atau sekitar US$24 miliar (setara Rp392 triliun).

Tarif Trump berdampak pada beberapa sektor mulai dari industri otomotif, makanan olahan, hingga sektor pertanian. Kerugian sebesar itu mewakili sekitar 4 persen dari total produk domestik bruto (PDB) Thailand yang diperkirakan mencapai 19,8 triliun baht pada 2024.

Jika terealisasi, hal ini akan memperburuk prospek ekonomi negara, yang tahun lalu hanya tumbuh 2,5 persen dan diprediksi berada di kisaran 2,3 hingga 3,3 persen pada 2025.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Thailand saat ini dikenakan tarif impor sebesar 36 persen oleh AS. Dalam masa penangguhan selama 90 hari yang diumumkan Trump, pemerintah Thailand tengah berupaya melakukan negosiasi dengan Washington untuk mengurangi dampak kebijakan ini.

Kriengkrai Thiennukul, Ketua Federasi Industri Thailand (FTI), memperkirakan tarif balasan dari Trump akan berada di kisaran 10-15 persen. Prediksi ini didasari pada selisih tarif antara Thailand dan AS, yang diperkirakan akan menimbulkan kerugian sebesar 200 hingga 300 miliar baht.

Namun, kata Kriengkrai, tarif yang diumumkan secara resmi oleh AS ternyata jauh lebih kompleks dari sekadar kalkulasi timbal balik. Menurutnya, pendekatan tarif ini juga memperhitungkan hambatan non-tarif, yaitu hambatan dagang yang tidak berbentuk pajak langsung.

"Namun, kerangka tarif yang sebenarnya diumumkan oleh AS lebih dari sekadar perhitungan timbal balik. Pendekatan ini tidak hanya menggabungkan perbedaan tingkat tarif tetapi juga hambatan non-tarif, hambatan yang menghambat perdagangan tanpa mengambil bentuk pajak langsung," ujar Kriengkrai dikutip dari Nikkei Asia pada Rabu (7/5).

Ia menambahkan bahwa dengan menggunakan pendekatan perhitungan sederhana, potensi kerugian ekonomi bisa mencapai antara 700 hingga 800 miliar baht. Analisis lebih lanjut masih dibutuhkan untuk mengetahui dampak penuh dari kebijakan ini. FTI sendiri memiliki sekitar 16.000 anggota dari berbagai sektor industri.

"Perkiraan berbasis pengganda yang disederhanakan menunjukkan bahwa kerugian ekonomi bisa mencapai 700 (miliar hingga) 800 miliar baht," sambungnya.

Thailand adalah basis manufaktur regional dengan porsi ekspor menyumbang lebih dari 60 persen dari PDB. AS menjadi salah satu mitra dagang utama, dengan nilai ekspor mencapai US$55 miliar pada tahun lalu.

Kriengkrai menyatakan tarif baru AS akan sangat membebani industri otomotif yang menyerap sekitar 700 ribu tenaga kerja di Thailand. Hal ini dikarenakan AS adalah tujuan ekspor terbesar untuk suku cadang mobil buatan Thailand.

"Berpotensi mengguncang industri secara besar-besaran, memaksa banyak perusahaan besar dan kecil untuk melakukan efisiensi, merger atau bahkan gulung tikar," katanya.

Industri otomotif Thailand sendiri sudah mengalami penurunan tajam pada tahun lalu, disebabkan lemahnya konsumsi domestik dan tingginya utang rumah tangga. Kondisi ini membuat perbankan memperketat kredit kendaraan, yang menyebabkan penjualan mobil anjlok 26 persen menjadi hanya 573 ribu unit.

Sementara itu, ekspor mobil juga turun 8,8 persen menjadi 1,01 juta unit sepanjang 2024, menurut data FTI.

"Banyak pelaku usaha kecil dan menengah dalam rantai pasok terpaksa memangkas skala operasional," lanjut Kriengkrai.

Ia menambahkan bahwa tarif baru hanya akan memperparah situasi tersebut.

"Tanpa cadangan keuangan yang kuat, beberapa pemasok bisa terpaksa tutup," tuturnya.

Selain otomotif, sektor makanan olahan dan makanan laut juga kemungkinan akan terdampak. Produk dari sektor ini sebelumnya mendapatkan pembebasan tarif masuk di AS.

Dibanding Thailand, Vietnam dan Kamboja menjadi negara yang paling terdampak dalam kebijakan tarif baru ini. Masing-masing dikenakan tarif sebesar 46 dan 49 persen.

Kriengkrai memperingatkan bahwa tingginya tarif AS dapat memaksa banyak negara pengekspor untuk mencari pasar alternatif. Negara-negara Asia Tenggara jadi salah satu opsinya.

"Eksportir yang tak lagi bisa masuk ke pasar AS kemungkinan akan membidik pasar ketiga, yang bisa menciptakan persaingan harga yang semakin ketat di kawasan seperti ASEAN," pungkasnya.

(job/fea)

[Gambas:Video CNN]

Read Entire Article
| | | |