Jakarta, CNN Indonesia --
Menteri Komunikasi dan Digital (Menkomdigi) Meutya Hafid mengatakan pemerintah belajar dari Australia yang sudah lebih dulu menerapkan aturan pembatasan akun media sosial untuk anak di bawah 18 tahun.
Meutya menyampaikan hal tersebut usai mendampingi Presiden Prabowo Subianto menerima kunjungan perdana Menteri Australia Anthony Albanese di Istana Merdeka, Jakarta, Kamis (15/5).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Jadi tadi kita bicara bagaimana cara implementasi ke depan supaya ini betul-betul bisa dijalankan dengan baik," kata Meutya dalam keterangan resminya, Kamis (15/5).
Pemerintah sebelumnya resmi menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2025 tentang Tata Kelola Penyelenggara Sistem Elektronik Dalam Perlindungan Anak atau PP Tunas. PP tersebut mengatur soal penggunaan media sosial oleh anak di bawah 18 tahun.
Misalnya, anak di bawah 18 tahun dilarang membuat akun secara mandiri tanpa pendampingan dan pengawasan orang tua. Anak baru bisa mengakses secara mandiri apabila sudah berusia 18 tahun.
Sementara itu, Australia lebih dulu memiliki aturan pembatasan penggunaan media sosial untuk anak-anak melalui regulasi Online Safety Amendment (Social Media Minimum Age) Act 2024 yang disahkan pada 29 November 2024.
Menurut Meutya regulasi di Australia mirip dengan PP Tunas yang melakukan pembatasan penggunaan media sosial berdasarkan usia.
"Jadi tadi bicara mengenai pembatasan sosial media untuk umur tertentu, penundaan usia juga mereka punya," jelas dia.
Meutya sebelumnya menegaskan bahwa PP Tunas bukan untuk melarang anak-anak mengakses internet. Menurut Meutya aturan tersebut justru membimbing mereka mengenal teknologi secara aman dan bertanggung jawab.
Meutya mengatakan pendekatan bertahap dalam PP ini seperti belajar naik sepeda, yakni dengan roda bantu terlebih dahulu. Ia menyebut pembentukan PP ini melibatkan anak-anak dalam prosesnya, dengan mendengarkan pendapat dari 350 anak.
"Ini merupakan komitmen kami bahwa aturan mengenai anak harus mengikutsertakan anak dalam prosesnya," ujar Meutya saat itu.
Berdasarkan data dari National Center for Missing and Exploited Children (NCMEC), selama empat tahun terakhir, Indonesia mencatatkan 5.566.015 kasus pornografi anak, menjadikannya sebagai yang terbanyak ke-4 di dunia dan ke-2 di ASEAN.
Selain itu, 48 persen anak-anak Indonesia mengalami perundungan online, dan sekitar 80.000 anak di bawah 10 tahun terpapar judi online.
"Data ini bukan sekadar angka, ini merupakan isu besar yang akan berdampak pada masa depan anak-anak di Indonesia. Kita tidak bisa tinggal diam melihat bagaimana ruang digital merusak anak-anak kita," terang Meutya.
Terbitnya PP Tunas, kata Meutya, menegaskan bentuk komitmen negara untuk melindungi generasi muda Indonesia.
(dmi/dmi)