Jakarta, CNN Indonesia --
Berbagai protes terhadap penyelenggaraan konser DAY6 di Stadion Madya Gelora Bung Karno (GBK) Jakarta pada Sabtu (3/5) kembali memicu seruan boikot terhadap promotor konser yang kerap bermasalah.
Akademisi manajemen pertunjukan musik UPH Yosia Revie Pongoh menilai seruan boikot yang digalakkan itu tidak masalah karena dapat memberikan tekanan moral kepada promotor.
Namun, ia menilai terdapat berbagai cara lain untuk 'menindak' promotor itu, termasuk melakukan gugatan kelompok atau class action jika ditemukan masalah perdata.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Boikot enggak masalah. Boikot pasti memberikan tekanan moral, tapi tidak punya kekuatan hukum," ujar Revie kepada CNNIndonesia.com, Senin (5/5).
"Kalau memang masalahnya cukup serius, penonton bisa langkah-langkah yang lebih lanjut atau bisa melapor seperti LKI atau badan perlindungan konsumen. Atau lebih jauh lagi gugatan secara grup, class action," sambungnya.
Revie juga mendorong pihak berwenang agar dapat mengantisipasi munculnya promotor dengan nama baru, tetapi berisi orang-orang dari promotor lama yang pernah bermasalah.
Ia menilai fenomena itu masih kerap terjadi karena sistem akreditasi dan sertifikasi yang belum matang. Dengan begitu, pemerintah dan asosiasi promotor perlu membuat sistem pengawasan yang ketat, termasuk melacak pemilik asli dari perusahaan promotor.
"Tanpa sistem seperti akreditasi atau sertifikasi atau lisensi dari promotor, mereka memang bisa saja ganti baju, ganti nama, tetapi orangnya sama," ujar Revie.
"Pemerintah juga asosiasi perlu melacak beneficial owner, pemilik dana aslinya dari setiap promotor itu supaya menghindari cuma ganti baju, ganti nama, orangnya sama. Kalau mau blacklist, harus ada basis data legalnya, jadi bukan hanya opini publik," sambungnya.
Setelah memastikan promotor yang beroperasi di Indonesia terakreditasi, Revie menilai pemerintah perlu meluncurkan sertifikasi untuk promotor.
Wacana sertifikasi promotor itu sebenarnya sempat muncul saat era Menparekraf Sandiaga Uno pada 2023. Namun, rencana itu belum kunjung terwujud hingga sekarang.
Revie lantas menilai rencana sertifikasi itu perlu kembali didorong sebagai salah satu alat untuk mengawasi promotor. Selain itu, pemerintah dan asosiasi juga bisa membentuk lembaga pengawas industri konser dan menyediakan sarana aduan bagi penonton.
"Tentu perlu didorong lagi, tapi tidak berhenti di sertifikasi. Itu kan hanya salah satu alat, kita bisa kembangkan lagi dalam hal kerangka hukumnya yang lebih jelas," ujarnya.
"Kemudian ada lembaga pengawasnya, misalnya seperti OJK khusus untuk industri konser, atau ada platform-platform aduan untuk konsumen khusus di sektor pertunjukan," lanjut Revie.
(frl/end)