Psikolog Ungkap Dampak Psikologis Mengirim Anak ke Barak Militer

7 hours ago 4

Jakarta, CNN Indonesia --

Rencana Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi untuk membawa anak-anak dengan perilaku bermasalah di sekolah ke barak militer memicu perdebatan di tengah masyarakat. Tak sedikit yang mempertanyakan maksud dan tujuan dari program tersebut.

Program ini rencananya bakal dimulai secara bertahap dari daerah-daerah yang dianggap rawah, bekerja sama dengan TNI dan Polri.

Sekitar 30 hingga 40 barak militer disebut telah disiapkan untuk menampung para siswa yang terlibat dalam pergaulan bebas, kriminalitas, atau perilaku menyimpang lainnya.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Ini bukan untuk menghukum, tapi untuk membentuk. Mereka akan dibina dalam lingkungan yang terstruktur dan penuh kedisiplinan," ujar Dedi.

Tapi, apakah 'wajib militer' untuk anak-anak yang dianggap bermasalah ini benar-benar bisa jadi solusi pembentukan karakter yang lebih baik?

Psikolog klinis dari Tabula, Arnold Lukito menilai wacana ini perlu ditinjau lebih dalam, terutama dari sisi psikologis anak. Pasalnya, kebijakan ini bisa menjadi pedang bermata dua, terutama jika tidak diterapkan dengan pendekatan yang tepat. Potensi dampak psikologis negatif justru bisa mengintai.

Arnold memperingatkan bahwa sisi gelap dari pendekatan ini tidak bisa diabaikan. Jika tidak dibarengi dengan pendekatan psikologis yang benar, anak justru bisa mengalami trauma.

Menurutnya, pendekatan militeristik cenderung menuntut kedisiplinan tinggi dan bisa mengandung kekerasan verbal atau fisik yang berdampak negatif, terutama pada anak-anak dengan latar belakang keluarga yang tidak suportif.

"Kita juga harus tahu bagaimana background keluarga anak-anak ini, kenakalan bisa muncul karena berbagai faktor dan ini harus dilihat lebih dalam," kata Arnold saat dihubungi CNNIndonesia.com, Senin (28/4).

Faktanya, lanjut Arnold, perilaku bermasalah sering kali hanya salah satu gejala dari masalah yang lebih dalam dan mendasar.

"Broken home, bullying, kekerasan, atau rasa haus akan perhatian, ini akar yang tidak bisa diselesaikan hanya dengan barak militer," jelasnya.

Sejumlah siswa berjalan menuju kelasnya saat hari pertama masuk sekolah pembelajaran tatap muka di SMAN 1 Mataram, NTB, Senin (4/1/2021). Pembelajaran secara tatap muka terbatas di tengah pandemi COVID-19 pada semester genap tahun ajaran 2020/2021 mulai dilaksanakan di wilayah NTB pada Senin (4/1) di sejumlah sekolah jenjang SMA, SMK dan SLB dengan menerapkan protokol kesehatan yang ketat.ANTARA FOTO/Ahmad Subaidi/hp.Ilustrasi. Mengirim anak 'nakal' ke barak militer tak jadi solusi membentuk karakter anak. (ANTARA FOTO/AHMAD SUBAIDI)

Arnold juga menyoroti pemberian label 'anak nakal' dan pengiriman ke barak militer bisa memperburuk harga diri mereka.

"Label itu bisa membuat mereka merasa seperti sampah masyarakat, yang tidak diinginkan. Ini berbahaya bagi pembentukan konsep diri remaja," ujarnya.

Ada juga risiko pembentukan karakter yang keras dan defensif dari program tersebut. Alih-alih membentuk karakter positif, anak bisa jadi lebih memberontak atau justru belajar menjadi agresif sebagai respons terhadap lingkungan yang dianggap mengancam.

Butuh pendekatan holistik

Agar tidak menjadi bumerang, Arnold menekankan pentingnya merancang program militer ini dengan pendekatan yang holistik. Barak harus fokus pada pembinaan karakter, bukan sekadar hukuman.

"Pembinanya harus orang yang mengerti pendidikan anak dan psikologi perkembangan. Ada banyak cara membentuk disiplin tanpa menghancurkan harga diri anak," katanya.

Ia juga menyarankan agar program ini dikombinasikan dengan konseling, pelatihan emosi, serta dukungan psikososial lainnya. Kehadiran psikolog dan konselor di dalam kamp adalah syarat mutlak agar proses pembinaan tidak menjadi proses penghukuman.

"Kalau hanya kekerasan fisik atau penghinaan yang digunakan, besar kemungkinan anak akan menjadi trauma atau malah membentuk pribadi yang lebih agresif," tegas Arnold.

Arnold juga mengingatkan, wacana 'wajib militer' bagi anak bermasalah tak sesederhana yang dipikirkan. Di satu sisi, program ini berpotensi membentuk kembali karakter anak yang berada di ambang kenakalan dan kriminalitas.

Tapi di sisi lain, program seperti ini juga membawa risiko psikologis yang serius jika tidak dibarengi dengan pendekatan yang tepat.

"Anak-anak bukan robot yang bisa di-reset dengan cara keras. Mereka butuh didengar, dibimbing, dan dipahami. Kalau pendekatannya salah, niat baik bisa jadi malapetaka," katanya.

(tis/asr)

Read Entire Article
| | | |