BMKG Wanti-wanti Dunia Sedang Bergerak Menuju Titik Kritis

14 hours ago 1

Jakarta, CNN Indonesia --

Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Dwikorita Karnawati memperingatkan dunia saat ini sedang berada dalam titik kritis. Hal tersebut tercermin dari rekor suhu panas yang pecah pada tahun 2024.

Menurut Dwikorita hasil penelitian berbagai lembaga dunia menunjukkan bahwa tahun 2024 menjadi tahun terpanas dalam catatan sejarah dengan suhu rata-rata global mencapai 1,55°C di atas tingkat pra-industri. Angka ini melampaui batas ambang Perjanjian Paris yang telah disepakati secara global untuk mencegah krisis iklim.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Ini bukan hanya soal cuaca panas. Ini adalah tanda bahwa kita sedang bergerak menuju titik kritis yang bisa mengancam keberlangsungan hidup manusia," ujar Dwikorita dalam pidatonya pada Forum Inovasi Climate Smart Indonesia di Hotel JS Luwansa, Kuningan, Jakarta, Senin (5/5), melansir keterangan resminya.

Dwikorita menyebut peningkatan suhu yang terjadi saat ini jauh lebih cepat dibanding perubahan iklim yang pernah menyebabkan kepunahan massal jutaan tahun lalu.

Ia menegaskan bahwa percepatan ini menjadi indikator serius akan krisis iklim yang tengah berlangsung.

Menurutnya, upaya mitigasi yang kuat dan kolaboratif harus dilakukan. Pasalnya, perubahan suhu yang ekstrem ini berpotensi membawa dampak besar terhadap stabilitas ekosistem, ketahanan pangan, serta keselamatan umat manusia di berbagai belahan dunia.

"Jika punahnya dinosaurus dipicu oleh perubahan suhu yang berlangsung dalam jutaan tahun, kita sekarang mengalami lonjakan serupa hanya dalam 30 hingga 40 tahun," tutur Dwikorita.

Lebih lanjut, data observasi BMKG menunjukkan tren peningkatan suhu di Indonesia juga terus berlanjut sejak 1981. Tahun 2024 mencatat suhu rata-rata nasional tertinggi sebesar 27,52°C.

Kondisi tersebut, kata Dwikorita, bukan sekadar anomali, tetapi bukti nyata bahwa krisis iklim telah berlangsung dan akan berdampak langsung pada sektor-sektor vital, termasuk kesehatan publik.

Dwikorita mengatakan perubahan iklim tidak hanya menyebabkan cuaca ekstrem, tetapi juga meningkatkan risiko penyakit menular, malnutrisi, gangguan kesehatan mental, hingga memburuknya kualitas hidup masyarakat.

Perubahan pola curah hujan dan suhu dapat berkontribusi terhadap meningkatnya kasus infeksi berbasis air dan makanan, seperti kolera dan salmonella, serta penyakit akibat gigitan serangga seperti demam berdarah dan Lyme disease.

Sistem deteksi berbasis AI

Merespons isu ini, BMKG bersama dengan Kolaborasi Riset dan Inovasi Industri Kecerdasan Artifisial (KORIKA), Kementerian Kesehatan (Kemenkes), dengan didukung oleh Institute for Health Modeling and Climate Solutions (IMACS) dan Mohamed bin Zayed University of Artificial Intelligence (MBZUAI) mengembangkan inisiatif Climate Smart Indonesia.

Inisiatif ini tengah mengembangkan sistem peringatan dini multi-bahaya yang berbasis kecerdasan buatan (AI). Sistem ini dirancang tidak hanya untuk memperingatkan potensi bencana alam seperti gempa dan tsunami, tetapi juga untuk mendeteksi dini lonjakan penyakit yang sensitif terhadap iklim.

"Dengan teknologi saat ini, BMKG bisa memprediksi musim hingga enam bulan ke depan dengan akurasi 85 persen. Dengan bantuan AI, prediksi ini bisa lebih akurat dan presisi, hingga skala kota, kabupaten atau bahkan satu desa," jelas Dwikorita.

BMKG juga mengembangkan platform seperti DBDKlim, yang telah diterapkan di Jakarta dan Bali untuk memberikan peringatan dini terhadap potensi lonjakan kasus demam berdarah.

Inisiatif ini disebut berhasil mendorong pemerintah daerah melakukan langkah aksi preventif seperti fogging, edukasi masyarakat, dan pemberantasan sarang nyamuk secara terarah dan tepat waktu.

(lom/dmi/mik)

[Gambas:Video CNN]

Read Entire Article
| | | |