Jakarta, CNN Indonesia --
Pengenalan tarif baru Amerika Serikat (AS) baru-baru ini di bawah kebijakan "nasionalisme ekonomi" Presiden Donald Trump telah memengaruhi arus perdagangan global.
Walau kebijakan tersebut utamanya ditujukan pada impor dari negara-negara seperti China, Vietnam, dan beberapa lainnya di Asia, dampaknya dirasakan lebih luas.
Salah satu negara yang mengalami konsekuensi tidak langsung adalah Pakistan, yang selama ini berusaha keras menangani lingkungan ekonomi yang menantang.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Meski perdagangan antara AS dan Pakistan relatif terbatas dibandingkan mitra lainnya, industri tekstil Pakistan menjadi yang paling terpengaruh. Tekstil adalah ekspor terbesar Pakistan ke Amerika Serikat, dengan ekspor tahunan melebihi US$4 miliar.
Produk-produk ini sekarang menghadapi tarif 29 persen di bawah kebijakan perdagangan baru. Perwakilan industri memperingatkan bahwa hal ini dapat meningkatkan biaya, mengurangi daya saing harga, dan memengaruhi kemampuan negara untuk mempertahankan pangsa pasarnya di AS.
Perwakilan dari Kawasan Perdagangan Industri Sindh di Karachi mencatat bahwa tarif Trump dapat mengganggu perekonomian, terutama mengingat tekanan mata uang dan defisit perdagangan yang sedang berlangsung di negara tersebut.
Pejabat Pakistan juga telah menyatakan kekhawatiran atas tarif yang lebih rendah yang diberikan kepada India dan kemungkinan perjanjian perdagangan bilateral antara India dan AS, yang dapat memberikan keuntungan kompetitif bagi India dalam jangka panjang.
Pakistan juga harus bersaing dengan negara-negara pengekspor tekstil lainnya di kawasan tersebut-termasuk Bangladesh, Vietnam, dan India-untuk mempertahankan dan memperluas pangsa pasarnya.
Di saat pemerintah Pakistan berupaya mengelola tantangan ini, mereka mengevaluasi dampak ekonomi yang lebih luas dari tarif tersebut, terutama saat berada di bawah program pinjaman yang didukung oleh Dana Moneter Internasional (IMF).
Salah satu dampak yang lebih tidak langsung dari kebijakan perdagangan AS telah terlihat dalam gangguan rantai pasokan. Sektor tekstil dan instrumen bedah Pakistan, misalnya, bergantung pada bahan baku impor dari negara-negara yang sekarang dikenakan tarif tinggi AS.
Ketergantungan ini telah meningkatkan biaya produksi, memperpanjang jangka waktu pengiriman, dan menyebabkan penurunan pesanan dari pengecer besar AS.
Penurunan Ekspor
Ekspor Pakistan-60 persen di antaranya adalah tekstil-sensitif terhadap perubahan global tersebut. Sektor tekstil bergantung pada input seperti kapas dari India, benang sintetis dari China, dan mesin dari Asia Tenggara. Ketika perusahaan global menyesuaikan strategi sumber daya mereka, banyak produsen Pakistan menghadapi ketidakpastian yang semakin meningkat.
Pada kuartal pertama tahun 2025, defisit akun berjalan Pakistan meningkat menjadi 4,5 persen dari PDB, sebagian didorong oleh penurunan pendapatan ekspor dan fluktuasi nilai mata uang. Rupee Pakistan mengalami tekanan, dan bank sentral telah menggunakan cadangan devisa untuk menstabilkannya. Namun, pendekatan ini mungkin tidak berkelanjutan karena kapasitas fiskal yang terbatas.
Ada juga kekhawatiran yang berkembang tentang meningkatnya ketergantungan ekonomi pada China. Pakistan sudah terkait erat dengan China melalui Koridor Ekonomi Tiongkok-Pakistan (CPEC) dan perjanjian keuangan lainnya.
Karena pasar Barat menjadi kurang mudah diakses, Pakistan mungkin menjadi lebih bergantung pada Beijing, yang membatasi kemampuannya untuk menavigasi kemitraan internasional secara mandiri.
Beberapa pakar perdagangan Pakistan meyakini bahwa tarif tersebut mungkin tidak konsisten dengan prinsip-prinsip Organisasi Perdagangan Dunia (WTO), yang mendorong penyelesaian sengketa perdagangan melalui dialog multilateral.
Pakistan sedang mempertimbangkan untuk mengajukan keluhan kepada badan penyelesaian sengketa WTO, meski para pejabat terus menekankan pentingnya solusi diplomatik daripada tindakan pembalasan.
Beberapa pihak di Pakistan telah mengusulkan tarif atas impor Amerika, serupa dengan strategi yang diadopsi negara-negara lain. Laporan menunjukkan bahwa China mungkin mendorong Pakistan untuk mengambil sikap yang lebih tegas.
Namun, tanggapan seperti itu dapat mempersulit upaya meningkatkan hubungan AS-Pakistan di bawah pemerintahan Trump. Mengingat perkembangan ini, pemerintah Perdana Menteri Pakistan Shehbaz Sharif telah membentuk komite pengarah dan kelompok kerja untuk menilai masalah tersebut dan mengeksplorasi strategi diplomatik dan ekonomi.
Hubungan Transaksional
Sajid Amin, ekonom di Sustainable Development Policy Institute (SDPI), mengemukakan bahwa dampak langsungnya akan menantang, terutama karena AS tetap menjadi mitra dagang terbesar Pakistan.
Ia menyebutkan bahwa pemerintah mungkin mempertimbangkan untuk mendukung produsen lokal guna meningkatkan daya saing, tetapi hal itu dapat menghadapi pembatasan berdasarkan program pinjaman IMF senilai USD7 miliar.
Jurnalis bisnis Khurram Husain mencatat bahwa tarif dapat mengubah hubungan perdagangan AS-Pakistan ke arah yang lebih bersifat transaksional. Ia menambahkan bahwa meski menjajaki pasar baru itu diperlukan, perlu waktu untuk membangun hubungan perdagangan alternatif yang kuat.
Selama tujuh bulan pertama tahun fiskal 2025, ekspor Pakistan ke AS mencapai USD3,6 miliar-19 persen dari total ekspor negara itu-dengan 79 persen terdiri dari produk tekstil dan pakaian jadi.
Basis ekspor Pakistan masih sangat terkonsentrasi, dengan AS, China, dan Inggris menyumbang lebih dari 30 persen dari total ekspornya. Dari perspektif AS, impor dari Pakistan hanya mewakili 0,16 persen dari total impor AS, tetapi volume perdagangannya signifikan bagi Pakistan.
Di saat Pakistan mengarungi lanskap perdagangan yang berubah ini, mengatasi kerentanan ekonomi struktural, meningkatkan diversifikasi ekspor, dan membina kemitraan internasional baru akan menjadi penting untuk mengurangi dampak jangka panjang dari tarif baru AS.
(dna)