Jakarta, CNN Indonesia --
Cuti bersama alias cutber sering kali jadi momen yang ditunggu-tunggu. Tapi, ketika cutber datang berturut-turut dalam rentang waktu yang berdekatan, dampaknya bisa jadi tak semanis yang dibayangkan.
Sejak kalender 2025 dibuka, masyarakat Indonesia disambut dengan gegap gempita hari libur. Dalam empat bulan pertama saja, ada belasan hari libur nasional dan cuti bersama.
Memasuki bulan Mei hingga Juni mendatang, trennya terus berlanjut. Setiap cutber biasanya berdekatan dengan akhir pekan. Akibatnya, masyarakat berkali-kali disuguhkan long weekend selama beberapa bulan terakhir ini.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Bagi sebagian orang, rentetan long weekend ini terdengar ibarat oase di tengah padatnya pekerjaan. Tapi, faktanya libur panjang tak selalu seindah itu.
Libur yang tidak sehat
Psikolog dari Tabula Arnold Lukito mengatakan, pada dasarnya libur penting untuk kesehatan mental. Tubuh dan otak butuh waktu untuk putih dari aktivitas yang menuntut ini dan itu.
Tapi, beda cerita jika libur datang terlalu sering. Alih-alih memulihkan diri, yang ada justru masalah anyar, utamanya dalam penurunan fungsi kognitif.
Terlalu banyak libur justru bisa mengganggu ritme kehidupan. Fokus buyar dan otak seolah butuh waktu lebih lama untuk kembali 'menyala'.
"Secara ilmiah, kita tidak menyebutnya otak mundur, tapi bisa terjadi penurunan fungsi kognitif sementara," jelas Arnold saat dihubungi CNNIndonesia.com, Rabu (21/5).
Dalam dunia pendidikan, hal ini disebut learning loss. Pada anak-anak, hal ini terlihat dari menurunnya daya ingat dan kemampuan memahami pelajaran setelah libur panjang.
Pada orang dewasa, bentuknya lebih halus, kadang terasa seperti malas berpikir, susah konsentrasi, atau menunda-nunda pekerjaan saat kembali bekerja.
Otak tidak mundur, tapi 'macet'
Ilustrasi. Saat libur panjang terus berdatangan, otak bisa 'macet' kala harus kembali beraktivitas. (iStock/Edwin Tan)
Kata Arnold, otak manusia sebenarnya berjalan seperti otot, yakni perlu dilatih secara konsisten. Ketika kebiasaan berpikir dan menyelesaikan masalah diputus berulang kali, misalnya karena libur panjang yang tidak diisi aktivitas bermakna, otak jadi perlu pemanasan ulang.
Kita butuh waktu lebih lama untuk kembali fokus, lambat memproses informasi, atau bahkan kehilangan motivasi.
"Kalau terlalu lama tidak digunakan untuk aktivitas kognitif seperti membaca, berdiskusi, atau bahkan sekadar menyusun strategi permainan, otak kita jadi kurang 'tajam'," kata dia.
Meski tidak bersifat permanen, namun kemunduran ini bisa mengganggu produktivitas dan keseimbangan mental harian.
Dalam hal ini, kira-kira apa yang salah? Jawabannya adalah pola liburnya, bukan liburnya itu sendiri.
Jika jeda istirahat datang terlalu sering dan mendadak memutus ritme harian, tubuh dan pikiran kita tidak punya cukup waktu untuk beradaptasi. Pola bangun tidur, waktu makan, hingga jadwal kerja semua akan terganggu.
"Ini disebut 'desinkronisasi ritme sirkadian' atau istilah ilmiah untuk kacaunya jam biologis tubuh," kata Arnold.
Tanpa struktur, bahkan liburan yang menyenangkan bisa berubah menjadi jebakan mental. Misalnya, saat tubuh merasa lelah meski sudah banyak beristirahat atau merasa kosong meski punya banyak waktu luang.
Bagaimana menyiasatinya?
Libur tetap penting, tapi harus disiasati dengan bijak. Arnold memberikan tips untuk menjaga ketajaman otak selama long weekend berulang yang akan datang. Berikut di antaranya.
1. Buat agenda sederhana agar hari libur tetap punya arah.
2. Isi waktu luang dengan aktivitas ringan tapi merangsang otak, seperti membaca buku, menyusun puzzle, atau berdiskusi santai.
3. Pertahankan rutinitas tidur dan makan, agar ritme biologis tetap terjaga.
4. Latih kembali fokus secara bertahap di hari terakhir liburan, agar kembali ke rutinitas tidak terasa berat.
(tis/asr)