Memutar Roda Misi Beyond Zero Toyota

2 hours ago 1

Memutar Roda Misi Beyond Zero Toyota

Net Zero Emission (NZE) bukan lari cepat melainkan maraton yang perlu harmonisasi inovasi dan keterlibatan banyak pihak. NZE juga bukan tujuan akhir melainkan suatu tahapan.

Dengan prinsip itulah Toyota menerapkan Beyond Zero yang melambangkan komitmen menciptakan ekosistem hijau berkelanjutan di masa depan.

Salah satu bentuk komitmen itu dituangkan Toyota Indonesia melalui acara bertajuk ‘Beyond Zero: Mobilitas untuk Netralitas Karbon’. Pameran solusi mobilitas hijau ini digelar pada 12-15 Februari 2025 di Jakarta.

Acara ini merupakan hasil kolaborasi Toyota Indonesia dengan Kementerian Perindustrian, Kementerian ESDM dan para rekanan yang punya misi sama menuju netralitas karbon. Acara ini juga salah satu rangkaian menuju Annual Indonesia Green Industry Summit (AIGIS) kedua yang bakal digelar pada Agustus mendatang.

Masahiko Maeda, CEO Toyota Regional Asia, mengatakan Toyota beruntung bisa jadi bagian perjalanan Indonesia selama lebih dari 50 tahun.

Ia juga mengatakan Toyota berkomitmen mendukung perekonomian jangka panjang, pengembangan industri dan keberlangsungan lingkungan hidup Indonesia.

Maeda menggambarkan ‘Beyond Zero: Mobilitas untuk Netralitas Karbon’ sebagai acara yang mengilustrasikan strategi teknologi multi-pathway Toyota selaras beragam sumber daya energi dan infrastruktur.

Pendekatan multi-pathway yang diterapkan Toyota merupakan sebuah strategi merangkul berbagai teknologi untuk mencapai penurunan emisi tingkat dunia dan memastikan tak ada yang tertinggal dalam transisi energi dan mobilitas.

"Misi kami sangat jelas, emisi karbon harus segera dikurangi dan kita harus bertindak sekarang. Toyota telah berkomitmen memberikan teknologi ramah lingkungan yang memenuhi misi ini," kata Maeda.

Mengingat keberagaman sumber energi di Indonesia, Maeda menjelaskan pendekatan Toyota yang seimbang, termasuk penyediaan teknologi kendaraan low carbon Internal Combustion Engine (ICE), flexy fuel, Hybrid Electric Vehicle (HEV), Plug-in Hybrid Electric Vehicle (PHEV), Battery Electric Vehicle (BEV) dan fuell cell berbasis hidrogen akan menyelesaikan problematik secara efektif untuk menuju dekarbonisasi Indonesia.

Indonesia dikatakan sebagai negara yang memiliki keberagaman dengan berbagai energi potensial. Selain itu negara ini juga disebut punya kebutuhan mobilitas yang unik.

Karena itu, menurutnya, Toyota percaya satu solusi tak bisa menyelesaikan semua masalah, sehingga perlu ada banyak opsi agar setiap kelompok masyarakat, mulai dari kawasan urban hingga pedesaan, dapat mengakses mobilitas berkelanjutan.

Toyota berkomitmen memberikan teknologi ramah lingkungan yang memenuhi pengurangan emisi karbon.

CEO Toyota Regional Asia, Masahiko Maeda

Pendekatan multi-pathway dikatakan bisa mengakselerasi realisasi dekarbonisasi dengan menawarkan berbagai teknologi untuk dipilih konsumen dan membuat mereka berkontribusi buat pengurangan emisi.

"Itulah mengapa kami mendukung visi Beyond Zero—untuk membuat masa depan yang tidak hanya mencapai Netralitas Karbon tetapi juga inklusif, inovatif dan berkelanjutan," tutur Maeda.

Selama acara ini digelar empat hari, Toyota Indonesia melakukan carbon offset untuk emisi yang dihasilkan, senilai 50 ton CO2e, dengan menggandeng PLTP Lahendong Unit 5 dan 6 dari Pertamina New & Renewable Energy.

Lalu segala kelistrikan di acara ini disuplai dari generator hydrogen 100 KVA bebas emisi yang disediakan PLN.

Pameran ini terbuka untuk umum, para pengunjung bisa melihat, menyentuh dan merasakan langsung teknologi kendaraan buah multi-pathway yang disediakan Toyota untuk Indonesia.

Bukan cuma deretan mobil di atas, Toyota juga menampilkan Forklift FCEV sebagai contoh pemanfaatan teknologi hidrogen untuk kendaraan komersial. Teknologi ini juga terbuka buat digunakan di truk dan bus

Masih ada lagi produk inovasi teknologi hidrogen dari Toyota, yaitu H2 Griller & H2 Generator.

Alat ini memperlihatkan penggunaan hidrogen sebagai sumber energi terbarukan tidak hanya untuk transportasi tetapi bisa buat aplikasi lain seperti memasak di rumah, co-firing industry dan lainnya.

Toyota Indonesia sudah cukup lama menyediakan opsi teknologi hijau sebagai solusi menuju NZE Indonesia 2060. Semua teknologi dan kecanggihan ekosistemnya bisa dilihat di satu tempat khusus, yakni di xEV Center yang didirikan di lokasi pabrik Toyota Motor Manufacturing Indonesia (TMMIN) Karawang 3.

Fasilitas di lahan seluas 600 meter persegi ini merupakan area edukasi serta pengembangan kemampuan elektrifikasi dan energi hijau Toyota Indonesia. xEV Center diresmikan pada Mei 2022 tetapi pembangunannya sudah dilakukan sejak Juli 2020.

Pada fase pertama pembangunan xEV Center fokus menyajikan beragam informasi tentang teknologi elektrifikasi untuk HEV, PHEV dan BEV.

Sementara pada fase kedua fokus untuk energi hijau dari berbagai teknologi dan infrastruktur yang sumber energinya berasal dari energi terbarukan seperti Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA), kincir angin, kincir air, hidrogen, hingga panel surya.

Pada fase ini Toyota Indonesia bisa memperlihatkan ekosistem elektrifikasi dari hulu sampai hilir.

Pengembangan akan dilanjutkan ke fase ketiga yang fokus ke mobility dengan pertunjukan seperti Intelligent Transport System.

Saat ini pembangunan xEV Center sudah masuk ke fase kedua.

Toyota Indonesia baru saja meresmikan Hydrogen Refueling System (HRS) pada 11 Februari 2025 menggunakan dana investasi Rp35 miliar.

HRS merupakan fasilitas Stasiun Pengisian Bahan Bakar Hidrogen yang menjadi bukti pengembangan ekosistem hidrogen di Indonesia bergerak maju, serta menjadi bagian upaya mempercepat pengembangan ekosistem hidrogen di Tanah Air.

HRS yang dibangun TMMIN ini merupakan hasil kolaborasi dengan berbagai pihak, termasuk pemerintah, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Pertamina, PLN, serta sejumlah akademisi dan industri terkait.

HRS yang disediakan Toyota Indonesia ini memiliki dua tipe sistem tekanan yaitu 700 bar untuk pengisian FCEV seperti Mirai atau truk komersial dan 350 bar buat aplikasi forklift.

Hidrogen berpotensi besar sebagai sumber energi penting di masa depan, bukan hanya karena ramah lingkungan tetapi elemen teringan ini paling melimpah di alam semesta.

Hidrogen dapat secara mudah ditemukan di air, gas alam ataupun biomas seperti nabati dan gas metana. Potensi pemanfaatannya di Indonesia besar karena negara ini memiliki sumber daya alam terbarukan melimpah, misalnya air, geothermal dan senyawa lainnya.

HRS milik Toyota Indonesia saat ini masuk ke dalam jenis grey hydrogen, salah satu bagian dalam pengklasifikasian produksi hidrogen berdasarkan metode pembuatannya.

Grey hydrogen adalah bentuk yang paling umum, produksinya dilakukan menggunakan gas alam atau bahan bakar fosil lainnya melalui proses yang disebut steam methane reforming (SMR). Ketergantungan pada bahan bakar fosil membuat produksi grey hidrogen mengandung banyak karbon dioksida dan gas rumah kaca.

Selain grey hydrogen ada pula yang namanya blue hydrogen. Pada dasarnya blue hydrogen adalah upaya mendekarbonisasi grey hydrogen.

Produksi blue hydrogen menggunakan teknologi carbon capture and storage (CCS) dan carbon capture and utilisation (CCU).

Kemudian ada klasifikasi green hydrogen yang dianggap sebagai satu-satunya cara produksi hidrogen paling rendah karbon. Produksi green hydrogen menggunakan sumber energi terbarukan seperti matahari, angin atau air melalui proses elektrolisis.

Toyota Indonesia berkomitmen akan melakukan transisi dari grey hydrogen ke green hydrogen sebagai tujuan utama untuk mendukung keberlanjutan, dekarbonisasi dan memajukan solusi energi bersih di industri manufaktur.

Tingginya biaya produksi hidrogen menjadi tantangan utama adopsi teknologi ini di sektor transportasi. Namun, dengan semakin luasnya penggunaan hidrogen, biaya produksinya dinilai bisa semakin menurun.

Pemerintah sendiri menargetkan pada 2038-2040 hidrogen sudah bisa digunakan secara lebih luas di Indonesia, baik untuk sektor transportasi maupun industri energi.

Tempat Bertukar Ide Para Pemikir Ulung

‘Beyond Zero: Mobilitas untuk Netralitas Karbon’ bukan hanya jadi tempat unjuk diri sejauh mana misi dan visi Toyota Indonesia untuk teknologi ramah lingkungan, tetapi juga jadi tempat banyak pemikir ulung bertukar pikiran.

Berbagai seminar telah digelar selama penyelenggaraan acara ini dan banyak menghasilkan air terjun informasi dari segala sisi.

Salah satunya datang dari Apit Pria Nugraha, Kepala Pusat Industri Hijau Kementerian Perindustrian. Ia mengungkapkan salah satu kendala yang dikeluhkan pelaku industri saat ini terkait dekarbonisasi dan kepatuhan pada aturan lingkungan hidup adalah 'fragmented policy'.

Dia memahami pelaku industri bisa mengalami kebingungan karena misalnya sesuatu seperti data yang sama diminta beberapa kali oleh instansi pemerintah berbeda dan sistem pelaporan ribet.

"Ini masalah nyata, paling tidak kami berani mengakui itu masalah yang perlu diselesaikan," ujar Apit.

Apit bilang perlu harmonisasi untuk mengatasi hal tersebut yang dia katakan bakal dituangkan dalam kebijakan baru yang sedang disusun.

"Kalau petunjuknya, kebijakan yang akan kami keluarkan dalam waktu dekat ini dalam konteks dekarbonisasi sektor industri ada dua, kebijakan yang sifatnya restrictive dan kedua fasilitatif," ucap dia.

Kebijakan restrictive berupa pembatasan emisi menuju mandatory carbon market untuk sektor industri. Hal ini dikatakan bakal sejalan upaya pemerintah menciptakan carbon market level nasional, sementara Kemenperin menciptakan untuk sektor industri.

Untuk menerapkan kebijakan restrictive menuju carbon market, Apit mengatakan perlu data emisi dan lainnya yang didukung infrastruktur. Hal ini akan membuat pelaku industri wajib melaporkan profil emisi yang dihasilkan, seperti polusi udara atau GRK.

Kebijakan restrictive, yang disebut berupa Peraturan Menteri, dikatakan bakal terbit 'dalam waktu dekat' dan diusahakan rilis pada semester satu 2025.

Ekspektasi pembatasan emisi untuk empat sub-sektor, industri semen, pupuk, besi-baja dan pulp kertas, akan dimulai pada 2027.

Lalu selama dua tahun diharapkan sudah terkumpul data inventori profil emisi empat sub-sektor industri buat memulai tahap awal carbon market.

Setelah itu, dua tahun kemudian atau pada 2029, lima sub-sektor lagi, termasuk industri otomotif, mulai berlaku. Sub-sektor industri yang lain akan menyusul dua tahun kemudian atau pada 2031.

"Somewhere along the way, mudah-mudahan di level nasional sudah terbentuk juga mandatory carbon market. Ekspektasi kami di level nasional, mudah-mudahan tak sampai 2030," jelas dia.

Sementara kebijakan fasilitatif adalah dukungan untuk pelaku industri menerapkan teknologi dekarbonisasi 'tanpa perlu mengeluarkan uang'. Kemenperin dikatakan sudah menyiapkan model bisnis yang memafasilitasi implementasi teknologi dengan syarat utama pelaku industri harus mendapatkan cost efficiency sebesar 30 persen.

Cost efficiency sebesar 30 persen itu yang akan digunakan untuk membayar biaya implementasi teknologi tersebut.

Apit juga mengatakan Toyota Indonesia paling di depan mendukung upaya dekarbonisasi di dalam negeri. Dia mengapresiasi multi-pathway yang disebut sesuai prinsip Kemenperin bahwa perubahan harus bertahap dan transformasi ke industri lebih hijau menggunakan inovasi teknologi mobilitas.

"Jadi bukan ke industri yang hijau tetapi ke industri yang lebih hijau," katanya.

Sementara itu, Eniya Listiani Dewi, Direktur Jendral Energi Baru, Terbarukan dan Konversi Energi Kementerian ESDM, menjelaskan ada potensi optimalisasi energi baru terbarukan (EBT) di sektor transportasi.

Dia menyebut transportasi memegang kunci penting untuk penurunan emisi di dalam negeri.

Berdasarkan strategi dekarbonisasi menuju NZE 2060 di sektor transportasi yang dipaparkan Eniya, ada lima sorotan rencana, yaitu pemanfaatan biofuel untuk mengurangi impor BBM, penggunaan kendaraan listrik jenis penumpang dan barang, green hydrogen buat kendaraan komersial dan green amonia untuk kapal, Sustainable Aviaton Fuel (SAF) dan elektrifikasi transportasi publik.

Tentang biofuel, Eniya memaparkan program mandatori Biodiesel 40 persen alias B40 telah berlaku mulai 1 Januari 2025. Sedari saat itu hingga sekarang dikatakan B40 sudah tersalurkan 1,2 juta kiloliter dan pada tahun ini ditargetkan 15,6 juta kiloliter dengan penghitungan penurunan emisi sekitar 41 juta ton CO2.

Eniya juga menyinggung soal program bioetanol yang sebenarnya sudah berjalan dari 2008 hingga sekarang. Dia mengatakan telah ada usulan memasukkan bioetanol menjadi mandatori seperti biodiesel di peraturan baru.

Selain itu dia juga menyebut ada upaya membuat bioavtur untuk penerbangan. Pengujian bioavtur sudah dikerjakan sejak 2021.

Salah satu program kendaraan listrik yang dicanangkan Kementerian ESDM, konversi motor listrik, mencapai 1.300-an unit pada 2024, naik dari catatan 2023 hanya 145 unit. Konversi motor listrik ini didukung insentif Rp10 juta per unit yang diberikan Kementerian ESDM.

Kelanjutan program konversi ini masih menggantung sebab anggarannya masih didiskusikan lantaran efisiensi kementerian.

Eniya mengapresiasi inovasi Toyota Indonesia yang mendirikan HRS sebagai bagian dari ekosistem pemanfaatan energi hidrogen di Tanah Air. Dia menyebut kemampuan 700 bar yang dimiliki HRS merupakan tertinggi di Indonesia.

Read Entire Article
| | | |