Jakarta, CNN Indonesia --
Direktorat Jenderal Perhubungan Udara Kementerian Perhubungan (Kemenhub) mendorong penguatan peran maskapai nasional dalam penyelenggaraan angkutan udara haji dan umrah melalui Revisi Undang-Undang (RUU) Nomor 8 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah.
Direktur Angkutan Udara Ditjen Perhubungan Udara Agustinus Budi Hartono menyampaikan sejumlah masukan resmi pihaknya dalam rapat panja membahas RUU tersebut dengan Komisi VIII DPR RI, Jakarta Pusat, Rabu (14/5).
Ia menyatakan saat ini belum terdapat regulasi afirmatif yang mewajibkan atau memprioritaskan maskapai nasional dalam layanan angkutan haji dan umrah. Padahal, praktik di lapangan masih menunjukkan dominasi penyewaan pesawat dari maskapai asing.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Hal ini bertujuan untuk memberikan ruang lebih besar bagi badan usaha angkutan udara nasional untuk berpartisipasi sekaligus mendukung kemandirian transportasi udara nasional," ujar Agustinus.
Ia juga menambahkan dominasi maskapai asing terjadi karena faktor harga dan kesiapan armada yang dianggap lebih kompetitif. Oleh karena itu, Kemenhub mengusulkan agar RUU mencantumkan klausul afirmatif yang menjadikan maskapai nasional sebagai prioritas utama, dengan tetap memenuhi persyaratan teknis dan administratif.
Lebih lanjut, ia mengusulkan agar mekanisme penyediaan transportasi udara haji dapat dilakukan melalui kontrak multi-tahun.
"Ini memberikan kepastian bagi operator nasional untuk berinvestasi pada pengadaan armada, pelatihan awak, serta peningkatan layanan," ujarnya.
Menurutnya, kontrak jangka panjang juga membuka ruang negosiasi harga yang lebih baik dan menghindari risiko mahalnya sewa pesawat secara mendadak.
Dari sisi fasilitas, Agustinus menyampaikan masukan agar penyelenggaraan angkutan udara haji dilengkapi dengan terminal khusus atau holding area terpadu di bandara embarkasi.
"Kami mengusulkan agar dalam revisi undang-undang dimuat mandat bagi pemerintah untuk memfasilitasi pengembangan dedicated terminal di setiap bandara embarkasi," katanya.
Tujuannya adalah meningkatkan kenyamanan, kelancaran, serta pelayanan yang tertib dan manusiawi bagi jamaah, terutama lansia dan penyandang disabilitas.
Saat ini, jemaah haji masih menggunakan terminal umum yang tidak dirancang untuk kebutuhan spesifik layanan haji, seperti jalur imigrasi dan keamanan khusus. Fasilitas pendukung seperti ruang tunggu prioritas dan layanan kesehatan darurat juga masih terbatas.
Dalam aspek keselamatan penerbangan, Ditjen Perhubungan Udara juga mengusulkan penguatan regulasi kewajiban pemeriksaan kelaikudaraan pesawat yang akan digunakan untuk penerbangan haji.
"Kami usulkan agar dalam revisi undang-undang diatur bahwa pesawat yang digunakan untuk penerbangan haji wajib memenuhi standar audit teknis dan operasional khusus yang dilaporkan kepada Ditjen Perhubungan Udara," ujar Agustinus.
Ia juga menegaskan pihaknya perlu diberi kewenangan penuh untuk menolak pesawat yang tidak memenuhi standar, meskipun telah dikontrak.
Audit tersebut mencakup pemeriksaan kelaikan teknis pesawat, kelengkapan asuransi, riwayat maskapai, serta fasilitas pendukung kenyamanan jamaah.
Selama ini, kewajiban tersebut belum secara eksplisit diatur sebagai prosedur tahunan dalam hukum penyelenggaraan ibadah haji dan umrah.
Untuk diketahui, pada 2025 penerbangan haji dilayani oleh Garuda Indonesia, Saudia Airlines, dan Lion Air melalui 13 bandara, yaitu Banda Aceh, Medan, Padang, Batam, Palembang, Jakarta, Kertajati, Solo, Surabaya, Lombok, Banjarmasin, Balikpapan, dan Makassar.
(del/sfr)